Pengaruh media sosial

Tentang oversharing dan kecenderungan seseorang untuk bangga menceritakan aib pribadi dalam norma budaya Barat, berikut adalah penjelasan tentang pengaruh media sosial terhadap perilaku ini, dengan fokus pada bagaimana media sosial mendorong oversharing dan rasa bangga yang menyertainya:

1. Normalisasi Oversharing

Media sosial, seperti Instagram, TikTok, Twitter/X, dan YouTube, telah menciptakan budaya di mana berbagi informasi pribadi, termasuk yang memalukan, dianggap normal dan bahkan dihargai. 

Pengguna sering memposting cerita tentang kegagalan, kebiasaan aneh, atau momen memalukan untuk tampak "autentik" atau "relatable."  

Contoh: Tren seperti "day in my life" atau "fail videos" di TikTok mendorong pengguna untuk berbagi momen memalukan, seperti tumpahnya minuman atau kesalahan lucu, yang sering mendapat respons positif (likes, komentar), sehingga meningkatkan rasa bangga.  

Penelitian (Tamir & Mitchell, 2012) menunjukkan bahwa berbagi di media sosial memicu pelepasan dopamin, memberikan rasa senang yang memperkuat keinginan untuk terus overshare.

2. Pencarian Validasi Sosial

Media sosial menyediakan platform untuk mendapat validasi instan melalui likes, komentar, atau shares. Ketika seseorang menceritakan aib dan mendapat respons positif (misalnya, tawa atau empati), mereka merasa bangga karena cerita mereka diterima atau dihargai.  

Contoh: Seseorang yang memposting tentang pengalaman memalukan seperti gagal dalam wawancara kerja mungkin merasa bangga jika postingan mereka mendapat banyak komentar dukungan seperti "Kamu kuat!" atau "Aku juga pernah begitu!"  

Dalam budaya Barat, norma keterbukaan ini diperkuat oleh media sosial, di mana berbagi cerita pribadi dianggap sebagai cara untuk membangun koneksi.

3. Tren Autentisitas dan "Raw Content"

Media sosial mempromosikan nilai autentisitas, di mana pengguna didorong untuk tampil "apa adanya" tanpa filter. Berbagi aib, seperti kesalahan atau kelemahan, dianggap sebagai cara untuk menunjukkan sisi manusiawi, yang sering dipuji sebagai keberanian.  

Contoh: Influencer Barat sering berbagi cerita tentang kegagalan pribadi (misalnya, masalah kesehatan mental atau hubungan) untuk membangun hubungan dengan audiens, yang membuat mereka bangga karena dianggap menginspirasi.  

Di Indonesia, meskipun norma tradisional menekankan menjaga privasi, paparan tren Barat ini melalui media sosial membuat generasi muda mulai mengadopsi oversharing sebagai bentuk ekspresi diri.

4. Efek Viralitas dan Perhatian

Media sosial sering memberi penghargaan pada konten yang menarik perhatian, termasuk cerita yang mengejutkan atau memalukan. Aib yang diceritakan dengan humor atau drama cenderung menjadi viral, yang meningkatkan rasa bangga pelaku karena merasa "dilihat" atau relevan.  

Contoh: Video TikTok tentang "momen paling memalukan di sekolah" sering mendapat jutaan views, mendorong pengguna untuk terus berbagi cerita serupa demi perhatian.  

Algoritma media sosial juga memprioritaskan konten emosional atau relatable, yang mendorong oversharing sebagai strategi untuk mendapat engagement.

5. Pengaruh Budaya Global Barat

Media sosial menghubungkan pengguna dengan norma budaya Barat, di mana keterbukaan tentang kegagalan atau kelemahan dianggap positif. Ini memengaruhi pengguna di budaya kolektivistis seperti Indonesia, yang mulai mengadopsi nilai-nilai ini meskipun bertentangan dengan norma lokal seperti "menjaga muka."  

Contoh: Seorang pengguna di Indonesia mungkin terinspirasi oleh influencer Barat untuk berbagi cerita pribadi di Instagram Stories, merasa bangga karena mengikuti tren global, meskipun mungkin dihakimi oleh lingkungan lokal.

6. Desensitisasi terhadap Privasi

Media sosial telah mengurangi batasan privasi, membuat pengguna lebih nyaman berbagi hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu atau memalukan. Paparan terus-menerus terhadap konten oversharing membuat orang merasa bahwa menceritakan aib adalah hal biasa, bahkan membanggakan.  

Contoh: Postingan tentang perjuangan pribadi, seperti perceraian atau kebangkrutan, yang dulunya dianggap rahasia, kini sering dibagikan secara terbuka dengan nada bangga karena dianggap sebagai kisah inspirasi.

7. Dampak pada Psikologi Individu

Positif: Media sosial dapat membantu individu memproses emosi negatif dengan berbagi aib, terutama jika mendapat dukungan dari audiens. Ini meningkatkan rasa bangga karena merasa berkontribusi atau menginspirasi.  

Negatif: Ketergantungan pada validasi media sosial dapat menyebabkan oversharing berlebihan, yang berisiko menimbulkan penyesalan atau kerusakan reputasi, terutama di budaya yang menjunjung privasi seperti Indonesia.

Konteks Budaya Barat vs. Indonesia

Budaya Barat: Media sosial memperkuat norma keterbukaan, di mana berbagi aib dianggap sebagai tanda keberanian atau autentisitas. Influencer Barat sering memimpin tren ini, membuat pengguna merasa bangga saat oversharing.  

Indonesia: Norma lokal yang menekankan menjaga aib sering bertabrakan dengan tren media sosial. Pengguna muda yang terpapar budaya Barat mungkin bangga oversharing karena mengikuti tren global, tetapi ini bisa memicu konflik dengan norma tradisional.

Contoh Spesifik

Barat: Seorang influencer seperti Brené Brown berbagi cerita tentang kerentanan (vulnerability) di media sosial, yang dipuji sebagai keberanian, mendorong pengikutnya untuk bangga berbagi kegagalan.  

Indonesia: Seorang pengguna TikTok lokal mungkin memposting video lucu tentang momen memalukan di kantor, terinspirasi oleh tren Barat, dan merasa bangga saat videonya viral, meskipun mungkin dihakimi oleh keluarga atau teman yang lebih konservatif.

0 Response to "Pengaruh media sosial"

Post a Comment

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar dengan Bijak