Rendah Hati

Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya. 

Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.

RENDAH HATI

Sehari-hari Albert Einstein menggunakan kereta api sebagai sarana transportasinya. Saat di stasiun, ia sering melihat seorang lelaki paruh baya yang selalu membawa buku-buku tebal di tangannya.

Einstein penasaran sekali dengan lelaki itu, tetapi ia ragu untuk menegur karena dari perilakunya sang lelaki nampak tidak bersosialisasi dengan orang lain.

Suatu hari kebetulan Einstein duduk di samping lelaki tersebut, maka ia tidak sia-siakan kesempatan ini.

"Maaf Tuan, saya lihat setiap hari Tuan membawa banyak buku. Apakah pekerjaan Tuan sebenarnya?"

Benar saja, lelaki itu tampak kurang suka ditegur orang tak dikenal. Dengan wajah ketus dan penuh keangkuhan ia menjawab,

"Saya adalah Doktor di bidang Fisika. Gelar saya adalah Ph.D. Bagaimana dengan Anda?" 

"Saya hanya seorang pelajar Fisika, Tuan."

Inilah yang disebut rendah hati. Meski Einstein sangat ahli di bidang mekanika kuantum, ia tetap menyebut dirinya sebagai pelajar. Bahkan seiring berjalan waktu, Einstein menemukan teori relativitas yang membuat namanya dikenal sebagai ilmuwan Fisika terbesar abad 20.

Di tanah air, juga terdapat kisah kerendahan hati yang lebih mempesona. Suatu siang seorang pemuda membawa banyak sekali koper memasuki gerbang Pondok Pesantren Lirboyo. Rupanya ia hendak menjadi santri baru, pantaslah barangnya cukup merepotkan.

Kebetulan ia melihat seorang tukang kebun yang sedang mengurus tanaman di halaman pondok, maka dengan santun pemuda itu menyapa sang tukang kebun, 

"Maaf Pak, apa tidak merepotkan kalau saya minta tolong?"

"Boleh Mas, apa yang bisa saya bantu?" 

"Kalau berkenan, tolong bantu membawa sebagian koper saya Pak ke kamar santri baru."

"Baik Mas, mari saya bantu bawakan."

Tanpa perasaan sungkan barang-barang itu dibawakan sampai ke dalam. Pemandangan itu mengejutkan para santri lama yang menyaksikannya. Belakangan si pemuda baru mengetahui bahwa orang yang ia sangka tukang kebun tersebut ternyata Kyai Abdul Karim, pengasuh pondok pesantren itu sendiri. 

Tampak benar bagaimana tawadhu seorang ulama besar yang tidak malu-malu membantu dan melayani para pelajar yang datang hendak menuntut ilmu. Kyai Abdul Karim wafat tahun 1954 dan cerita di atas hanya goresan kecil dari lautan kerendahan hati dalam kehidupan beliau. 

Dalam hadist riwayat Al-Imam Ahmad, sahabat bertanya pada Ibunda Aisyah apakah yang dilakukan Rasulullah kalau sedang berada di rumah. Maka Ibunda menjawab, 

مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ

"Rasulullah melakukan seperti apa yang dilakukan kalian jika sedang membantu istrinya. Rasulullah menambal sendiri sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air menggunakan ember.”

Ya Rabbi, adakah keteladanan yang lebih indah melebihi akhlak seperti yang diperlihatkan manusia yang paling mulia di seluruh alam ini? 

Maka jagalah selalu sifat rendah hati dalam diri kita ini. Hindari sejauh-jauhnya sifat merasa sudah pandai, merasa sudah sukses, dan merasa tidak pantas melakukan sebagian pekerjaan karena memandang diri sendiri yang sudah mulia dan terhormat. 

Salam Bahagia Sukses Dunia Akhirat 💪

0 Response to "Rendah Hati"

Post a Comment

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar dengan Bijak