Abbas bin Abdul Muthalib radhiyallahu 'anhu (Pengurus Air Minum untuk Dua Kota Suci)


Abbas bin Abdul Muthalib radhiyallahu 'anhu (Pengurus Air Minum untuk Dua Kota Suci)

Pada suatu musim kemarau, di waktu penduduk dan negeri ditimpa kekeringan yang menyedihkan, Amirul Mukminin Umar bersama kaum Muslimin keluar ke lapangan terbuka, untuk menunaikan shalat istisqa’, dan berdoa merendahkan diri kepada Allah Yang Maha Penyayang agar mengirimkan awan dan menurunkan hujan kepada mereka.

Umar berdiri sambil memegang tangan kanan Abbas dengan tangan kanannya, dan mengangkatnya ke arah langit sembari berdoa,

“Ya Allah, sesungguhnya kami pernah memohonkan hujan dengan perantara Nabi-Mu, pada masa beliau masih berada di antara kami. Ya Allah, sekarang kami meminta hujan kepada-Mu dengan perantara paman Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan untuk kami.”

Saat kaum Muslimin belum meninggalkan tempat mereka, tiba-tiba awan tebal datang dan hujan lebat pun turun mendatangkan suka cita, menyiram bumi dan menyuburkan tanah. Para sahabat pun menemui Abbas, memeluk dan menciumnya. Mereka ingin mendapatkan berkah dengan penghormatan itu, sambil berkata,

“Selamat kami ucapkan untukmu, wahai penyedia air minum Dua Kota Suci.”

Siapakah dia penyedia air minum Dua Kota Suci ini?
Siapakah sejatinya orang yang dijadikan Umar sebagai perantara baginya kepada Allah, padahal Umar sendiri merupakan sosok yang sudah tidak asing lagi bagi kita soal ketakwaan, lebih dulunya ia masuk Islam, serta kedudukannya di sisi Allah, Rasul-Nya, serta di sisi orang-orang beriman?

Ialah Abbas, paman Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ memuliakannya sebagaimana ia pun mencintainya. Beliau memujinya dan menyebut-nyebut kebaikan perilakunya dengan ungkapan,

“Inilah orang tuaku yang masih ada. Inilah dia Abbas bin Abdul Muthalib, orang Quraisy yang paling pemurah dan sangat ramah.”

Sebagaimana Hamzah adalah paman Nabi yang seusia dengan beliau, Abbas pun merupakan paman sekaligus teman sebaya beliau. Semoga Allah meridhai mereka berdua.

Perbedaan usia antara keduanya hanya terpaut dua atau tiga tahun, di mana Abbas lebih tua dari Rasulullah pun demikian dengan beliau dan Abbas, keduanya merupakan dua orang anak yang sebaya dan dua orang pemuda dari satu angkatan. Ikatan kekeluargaan bukanlah satu-satunya alasan yang menyebabkan keakraban dan terjalin persahabatan yang intim antara keduanya, karena persamaan usia tidak kurang berpengaruhnya.

Hal lain yang menyebabkan Nabi ﷺ selalu memprioritaskan Abbas di tempat pertama ialah karena akhlak dan budi pekertinya.

Abbas adalah orang yang pemurah dan sangat dermawan, seolah-olah dialah paman atau bapak kedermawanan. Ia selalu menjaga dan menyambung tali silaturahmi dan kekeluargaan, dan untuk itu tidak segan-segan mengeluarkan tenaga ataupun harta. Di samping itu semua, ia juga seorang yang cerdas, bahkan sampai ke tingkat jenius, dan dengan kecerdasannya ini yang didukung oleh kedudukannya yang tinggi di kalangan Quraish, ia sanggup banyak menyingkirkan banyak gangguan dan kejahatan dari Rasulullah ketika beliau menampakkan dakwahnya secara terang-terangan.

Dalam pembicaraan kita sebelumnya tentang Hamzah, kita mengenal Hamzah selalu memusuhi kezaliman orang Quraisy dan kebiadaban Abu Jahal dengan pedangnya yang ampuh.

Adapun Abbas, ia memusuhinya dengan kecerdasan dan kecerdikan yang memberi manfaat bagi Islam sebagaimana halnya senjata pedang yang bermanfaat dalam membela dan mempertahankan haknya.

Abbas tidak mengumumkan keislamannya kecuali pada tahun pembebasan Mekah, yang menyebabkan ahli sejarah memasukkannya ke dalam kelompok orang-orang yang belakangan masuk Islam. Namun, riwayat-riwayat lain dalam sejarah menyatakan bahwa ia termasuk orang-orang Islam angkatan pertama, hanya saja menyembunyikan keislamannya.

Abu Rafi’ yang merupakan pelayan Rasulullah ﷺ menuturkan, “Saat masih kecil aku merupakan pelayan Abbas bin Abdul Muthalib, dan waktu itu Islam telah masuk di kalangan kami, ahli bait. Abbas, Ummul Fadhl, dan aku memeluk Islam. Namun, Abbas menyembunyikan keislamannya waktu itu.”

Inilah riwayat Abu Rafi’ yang menceritakan keadaan Abbas dan masuk Islamnya sebelum Perang Badar. 

Bila demikian, waktu itu Abbas telah menganut Islam. Keberadaan Abbas di Mekah pasca hijrah Nabi dan sahabat-sahabatnya merupakan suatu langkah perjuangan yang sudah direncanakan dengan matang hingga membuahkan hasil yang sebaik-baiknya. Orang-orang Quraisy tidak menyembunyikan keraguan mereka tentang hati kecil Abbas. Hanya saja, mereka tidak mempunyai alasan untuk memusuhinya, apalagi secara lahir tingkah laku dan agamanya tidaklah bertentangan dengan kemauan mereka.

Nah, ketika waktu Perang Badar telah tiba, terbuka bagi orang-orang Quraisy untuk menguji rahasia hati dan pendirian Abbas yang sesungguhnya. Namun, Abbas lebih cerdik dan tidak lengah terhadap gerak-gerik dan tipu muslihat busuk yang direncanakan Quraisy dalam melampiaskan kejengkelannya dalam mengatur makar jahat mereka. 

Sekalipun Abbas telah berhasil menyampaikan keadaan dan gerak-gerik orang-orang Quraisy kepada Nabi di Madinah, orang Quraisy pun berhasil memaksanya untuk bergabung dalam pertempuran yang tidak disukai dan dikehendakinya. Namun, keberhasilan Quraisy itu adalah keberhasilan sementara, karena ternyata berbalik membawa kehancuran dan kerugian mereka.

Kedua golongan itu bertemu di medan Perang Badar. Pedang-pedang pun beradu dalam kecamuk perang yang menakutkan, yang akan menentukan hidup mati dan kesudahan kedua belah pihak.

Rasulullah ﷺ berseru di tengah-tengah para sahabatnya, 

“Beberapa orang dari Bani Hasyim dan yang bukan dari Bani Hasyim keluar karena dipaksa pergi berperang, padahalnya mereka sebenarnya tidak ingin memerangi kita. Karena itu, siapa di antara kalian yang menemukannya, janganlah ia membunuhnya. 

Siapa yang bertemu dengan Abu Al-Bakhtari bin Hisyam bin Al-Harits bin Asad, janganlah ia membunuhnya. 

Siapa yang bertemu dengan Abbas bin Abdul Muthalib, janganlah ia membunuhnya karena ia dipaksa untuk ikut berperang.”

Dengan perintah tersebut, tidak berarti Rasulullah ﷺ hendak memberikan keistimewaan kepada pamannya, Abbas, karena tidak pada tempatnya dan bukan pula pada waktunya memberikan keistimewaan itu. 

Beliau tentu tidak akan rela melihat para sahabatnya berjatuhan dalam pertempuran menegakkan kebenaran, dan di sisi lain beliau membela pamannya dengan memberinya hak-hak istimewa saat pertempuran sedang berlangsung, seandainya beliau tahu bahwa pamannya itu orang musyrik.

Itu benar, Rasulullah ﷺ dilarang oleh Allah untuk memintakan ampun bagi pamannya Abu Thalib, padahal banyak sekali jasa dan pengorbanan yang diberikan oleh Abu Thalib terhadap Nabi Muhammad dan Islam. Tentu saja tidak logis dan masuk akal jika beliau mengatakan kepada orang-orang yang bertempur di Perang Badar dan sanak saudara mereka dari golongan musyrik, 

“Hindarilah oleh kalian dan janganlah membunuh pamanku.”
   
Hal itu akan berbeda bila Rasulullah mengetahui keadaan pamannya yang sebenarnya, dan juga mengetahui bahwa pamannya itu menyembunyikan keislamannya dalam dadanya, mengetahui jasa-jasanya yang tidak sedikit serta pengabdiannya yang tidak terlihat terhadap Islam, dan terakhir mengetahui bahwa ia dipaksa ikut berperang dan mengalami tekanan, dalam kondisi ini Nabi ﷺ wajib melepaskan orang yang mengalami nasib seperti ini dari bahaya, dan melindungi darahnya selama kemungkinan masih terbuka.

Bila Abu Al-Bakhtari—yang bukan sanak keluarga Nabi—tidak diketahui menyembunyikan keislamannya, tidak pula membela Islam secara diam-diam sebagaimana Abbas. Kelebihannya hanya ia tidak pernah ikut-ikutan para pemuka Quraish dalam menyakiti dan menganiaya kaum Muslimin. Ia tidak menyukai perlakuan mereka tersebut dan ikut berperang karena dipaksa dan tertekan.

Bila Abu Al-Bakhtari dengan kondisinya seperti itu telah berhasil mendapatkan syafaat Rasulullah untuk dilindungi darahnya serta nyawanya, apakah tidak lebih pantas bila syafaat itu diberikan kepada seorang Muslim yang terpaksa menyembunyikan keislamannya, orang yang membela Islam dalam beberapa sikap yang dapat disaksikan, sedangkan yang lainnya hanya secara diam-diam? Ya, ia lebih pantas. 

Sebenarnya Abbas adalah seorang Muslim dan pembela itu. Mari kita kembali ke belakang sejenak untuk melihatnya.

Pada Baiat Aqabah II, ketika 73 lelaki dan 2 perempuan utusan Anshar datang ke Mekah pada musim haji guna berbaiat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan untuk merundingkan Hijrah Nabi ke Madinah, waktu itu Rasulullah menyampaikan berita kedatangan utusan dan baiat ini kepada pamannya karena beliau sangat mempercayainya dan memerlukan buah pikirannya.

Ketika tiba waktu berkumpul yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, Rasulullah keluar bersama pamannya, Abbas, ke tempat orang-orang Anshar menunggu. Abbas ingin menyelidiki dan menguji kesetiaan orang-orang tersebut terhadap Nabi. Untuk menceritakan hal ini, kita persilakan saja salah seorang anggota utusan itu menyampaikannya langsung kepada kita kisah yang didengar dan dilihatnya sendiri. Orang tersebut ialah Ka’ab bin Malik.

Ia menuturkan, “kami telah duduk menanti kedatangan Rasulullah di jalan antara dua bukit, hingga akhirnya beliau datang bersama Abbas bin Abdul Muthalib. Abbas mengawali pembicaraan, ‘Wahai kaum Khazraj, anda sekalian telah mengetahui kedudukan Muhammad di sisi kami. Kami telah membela Muhammad dari kejahatan kaum kami. Ia sebenarnya mempunyai kedudukan mulia di tengah-tengah kaumnya dan kekuatan negerinya, tetapi ia enggan menerima itu dan lebih memilih bergabung dan hidup bersama kalian. Seandainya kalian benar-benar hendak menunaikan apa yang telah kalian janjikan kepadanya dan kalian membelanya terhadap orang yang memusuhinya, silakan kalian memikul tanggung jawab tersebut. Tetapi, seandainya kalian bermaksud menyerahkan dan mengecewakannya sesudah ia bergabung dengan kalian, lebih baik kalian meninggalkannya sekarang’.”

Abbas mengucapkan kata-katanya yang tajam dan tegas itu dengan sorotan matanya seperti mata elang ke wajah orang-orang Anshar. Ia menunggu jawaban dan tanggapan dari mereka secepatnya. 

Tidak cukup di situ saja, kecerdasan Abbas merupakan kecerdasan praktis yang dapat menjangkau hakikat dari sebuah materi dan menelisik setiap dimensi dengan perspektif seorang penguji yang berpengalaman. Dan itu ia tunjukkan dengan melontarkan pertanyaan yang cerdik, “Gambarkanlah kepadaku tentang peperangan, bagaimana cara kalian memerangi musuh-musuh kalian.”

Berdasarkan kecerdasan dan pengalamannya bersama orang-orang Quraisy, Abbas dapat menyimpulkan bahwa peperangan merupakan perkara yang tidak mustahil akan terjadi di antara Islam dan kemusyrikan. Orang-orang Quraisy tidak akan mundur dari agama, kedudukan, dan keingkarannya. Sedangkan Islam yang merupakan agama yang benar itu tidak akan mengalah terhadap yang bathil untuk mempertahankan hak-hak yang telah disyariatkan.

Apakah orang-orang Anshar yang merupakan penduduk Madinah itu akan mampu bertahan dalam perang saat terjadi nanti? Apakah mereka, dalam keahlian perang dapat menandingi orang-orang Quraisy yang cekatan dalam taktik dan muslihat perang? Karena itulah, Abbas mengemukakan pertanyaan itu sebagai pancingan, 

“Gambarkanlah kepadaku tentang peperangan, bagaimana cara kalian memerangi musuh-musuh kalian.” Namun, orang-orang Anshar yang mendengarkan perkataan Abbas ini, adalah lelaki yang kokoh laksana gunung.

Saat Abbas belum sampai pada akhir pembicaraannya, terutama pada pertanyaan yang memacu darah itu, mereka sudah mulai angkat bicara. Abdullah bin Amr bin Hiram menjawab pertanyaan tersebut, 

“Demi Allah, kami adalah keluarga prajurit yang telah makan asam garamnya medan laga. Kami mewarisi keahlian perang itu turun-temurun dari nenek moyang kami. Kami adalah pemanah yang membinasakan, pelempar tombak yang memecahkan setiap sasaran, dan kami berjalan dengan membawa pedang dan bertarung hingga kami gugur lebih dulu atau musuh yang binasa.”

Abbas menjawab dengan wajah berseri-seri, 

“Kalau begitu, kalian adalah ahli perang. Apakah kalian juga memiliki baju besi?”

Mereka menjawab, “Ya, kami mempunyai baju besi yang mencukupi.”

Kemudian terjadilah percakapan penting dan menentukan antara Rasulullah dan orang-orang Anshar, percakapan yang insya Allah akan penulis haturkan pada kesempatan yang akan datang.

Itulah peran Abbas dalam Baiat Aqabah II. Baginya sama saja, apakah ia telah masuk Islam waktu itu secara diam-diam, atau masih dalam tahap berpikir, perannya jelas sangat penting dalam menetapkan garis pemisah antara kaumnya yang akan tenggelam ke dalam kegelapan malam dan sinar pagi yang akan terbit. Kejantanan dan kecerdasan Abbas terlihat jelas dalam peristiwa itu.

Perang Hunain akan memperkuat bukti keberanian dari orang yang kelihatannya pendiam dan lemah lembut ini. Keberanian ketika kebutuhan menuntutnya dan situasi akan bergetar karenanya, sedangkan pada saat-saat lainnya ia terpendam jauh dalam dada, terlindung dari cahaya. Pada tahun 8 H, setelah Allah membebaskan negeri Mekah untuk Rasulullah dan agama-Nya, sebagian kabilah yang berpengaruh di Jazirah Arab tidak sudi melihat kemenangan gemilang dan perkembangan yang cepat dari agama ini. Kabilah Hawazin, Tsaqif, Nashar, Jusyam, dan lain-lain bersekutu dan mengambil keputusan untuk melancarkan serangan mematikan terhadap Rasulullah dan kaum Muslimin.

Kata-kata “kabilah” tidak boleh memperdayai kita, sehingga terbayang oleh kita bahwa ciri peperangan yang diterjuni Rasulullah pada masa itu, hanya semata-mata perkelahian kecil-kecilan dari orang-orang primitif, yang dilancarkan dari kabilah dari tempat-tempat perlindungan mereka. Pengetahuan tentang hakikat ini bukan saja memberikan kepada kita penilaian yang baik terhadap usaha luar biasa yang telah dikerahkan oleh Rasulullah dan para sahabat beliau semata, melainkan juga memberikan kepada kita penghargaan yang benar dan kepercayaan terhadap nilai kemenangan agung yang digapai oleh Islam dan orang-orang beriman, serta suatu gambaran yang jelas terhadap taufik Allah yang utama pada setiap kejayaan dan kemenangan ini.

Kabilah-kabilah tersebut telah menghimpun diri dalam barisan-barisan besar, terdiri dari prajurit perang yang ganas. Kaum Muslimin bergerak dengan kekuatan 12.000 orang. 12.000 orang? Siapa sajakah mereka? Mereka terdiri dari banyak kalangan, di antaranya adalah orang-orang yang telah membebaskan Mekah belum lama ini dari kehidupan yang penuh dengan kesyirikan dan paganisme hingga ke puncak kesesatan. Panji-panji mereka memenuhi angkasa tanpa ada yang mengganggu atau merintanginya. Ini merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan arogansi.

Kaum Muslimin pada hakikatnya tidak lepas dari sifat dasar manusia. Karena itulah, mereka menjadi lemah di hadapan kesombongan yang dibangkitkan oleh jumlah yang banyak dan kemenangan atas Mekah. Mereka pun berkata, “Hari ini kita tidak akan dikalahkan oleh jumlah yang sedikit.”

Karena Dzat yang di langit menghendaki agar mereka memiliki tujuan yang paling tinggi dan mulia dalam sebuah peperangan, maka ketergantungan mereka terhadap kekuatan pasukan, kebanggaan terhadap kemenangan dalam peperangan, bukanlah amal yang shaleh, yang harus mereka jauhi secepatnya, meski harus diwujudkan oleh Allah dalam bentuk shock teraphy. Tetapi kejutan ini berupa kekalahan besar yang mendadak di awal peperangan ini, hingga setelah mereka sadar dan memohon ampunan kepada Allah serta melepaskan diri dari kebanggaan terhadap kekuatan mereka dan beralih kepada kepercayaan terhadap kekuatan Allah, kekalahan mereka akhirnya berbalik menjadi kemenangan. 

Dalam hal ini, turunlah ayat Al-Qur’an Al-Karim memperingatkan kaum Muslimin:

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ ۙ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ

Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai. 
(QS. At-Taubah: 25) 

ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ وَذَٰلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ

Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir. 
(QS. At-Taubah: 26) 

Waktu itu, kata-kata Abbas dan keteguhan hatinya merupakan tanda-tanda ketenangan dan keberanian mempertaruhkan nyawa. Ketika kaum Muslimin sedang berkumpul menyusun kekuatan di salah satu lembah Tihamah sambil menanti kedatangan musuh, sebenarnya orang-orang musyrik telah mendahului mereka ke lembah itu dan bersembunyi di parit-parit dan di tepi-tepi jalan bukit, siap dengan senjata di tangan untuk memulai serangan.

Ketika kaum Muslimin sedang lengah, mereka menyerbu dan melakukan sergapan secara mendadak dan mengacaukan, sehingga kaum Muslimin melarikan diri sejauh-jauhnya hingga tidak sempat menoleh ke kanan maupun ke kiri. Rasulullah menyaksikan akibat sambaran dan serangan itu terhadap kaum Muslimin. Beliau naik ke atas bighalnya yang putih, lalu berteriak dengan suara keras, “Hendak ke mana kalian? Mendekatlah kepadaku. Aku adalah Nabi, yang tidak pernah berbohong. Akulah putra Abdul Muthalib.”

Di sekitar Nabi waktu itu hanya ada Abu Bakar, Umar, Ali bin Abu Thalib, Abbas bin Abdul Muthalib, Fadhl bin Abbas yang merupakan putra Abbas, Ja’far bin Al-Harits, Rabi’ah bin Al-Harits, Usamah bin Zaid, Aiman bin Ubaid, dan beberapa shahabat lain yang tidak banyak jumlahnya.

Ada seorang perempuan yang mendapatkan kedudukan tinggi di antara lelaki dan para pahlawan itu, namanya ialah Ummu Sulaim binti Milhan. Perempuan ini telah melihat kebingungan kaum Muslimin dan keadaan mereka yang kacau balau. Ia pun segera menunggangi unta suaminya, Abu Thalhah, dan terus menghentak unta itu ke arah Rasulullah. Pada waktu itu ia sedang hamil, maka ketika janin yang ada di dalam perutnya bergerak, ia membuka selendangnya lalu mengikatkannya ke perut dengan ikatan yang lebih kuat.

Setelah sampai di dekat Nabi dengan membawa belati di tangan kanannya, beliau menyambutnya dengan senyuman, dan bersabda, “Ummu Sulaim?” ia menjawab, “Benar, ayah dan ibuku sebagai tebusan anda, wahai Rasulullah. Bunuhlah mereka semua yang melarikan diri itu sebagaimana engkau membunuh mereka yang memerangimu dan mereka patut mendapatkannya.” 

Rasulullah semakin menampakkan senyuman dari wajah beliau yang memperlihatkan keyakinan terhadap janji Rabbnya, lalu bersabda kepadanya, 
“Sesungguhnya Allah telah cukup sebagai pelindung dan jauh lebih baik, wahai Ummu Sulaim.”

Ketika Rasulullah sedang dalam kondisi seperti itu, Abbas berada di dekatnya bahkan antara kedua tumitnya memegang kekang keledainya, menghadang maut dan bahaya. Nabi menyuruh agar memanggil kaum Muslimin yang lain, karena Abbas mempunyai suara yang lantang, maka ia pin berteriak, “Wahai kaum Anshar… wahai orang-orang yang telah berbaiat.”

Teriakan Abbas seolah-olah pemanggil dan pengingat takdir. Ketika teriakan itu mengetuk telinga mereka yang ketakutan karena serangan mendadak ini dan kacau balau di dalam lembah itu, langsung menjawab serentak, “Kami segera datang, ini kami datang.” Mereka berbalik ke kesatuan bagai angin topan, bahkan ada sebagian orang yang karena unta atau kudanya membandel, mereka melompat dan berlari sambil membawa baju besi, pedang, dan panahnya menuju arah suara Abbas.

Pertempuran berlangsung kembali dengan dahsyat dan kejamnya. Rasulullah berseru, “Sekarang peperangan memuncak panas.” Benar, perang menjadi panas. Korban di pihak Hawazin dan Tsaqif berjatuhan menggelinding. Pasukan berkuda Allah telah mengalahkan pasukan berkuda Latta. Allah menurunkan ketenangan kepada Rasulullah dan orang-orang beriman.

Rasulullah sangat mencintai Abbas, bahkan beliau tidak dapat tidur sewaktu berakhirnya Perang Badar, karena pamannya pada waktu itu tidur bersama tawanan yang lain. Nabi tidak menyembunyikan rasa sedihnya, ketika ada yang menanyakan mengapa beliau bersedih. Beliau tidak dapat tidur padahal Allah telah memberikan pertolongan yang sangat agung, beliau menjawab, “Aku seperti mendengar rintihan Abbas dalam belenggunya.”

Salah seorang di antara kaum Muslimin yang mendengar kata-kata Rasulullah tersebut bergegas pergi ke tempat para tawanan dan melepaskan belenggu Abbas. Orang ini kembali dan mengabarkan kepada Rasulullah dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, saya telah melonggarkan sedikit ikatan belenggu Abbas.” Namun, mengapa hanya Abbas saja? Ketika itu Rasulullah memerintahkan kepada para sahabatnya itu, 

“Kembalilah ke sana dan lakukanlah itu terhadap semua tawanan.”

Benar, kecintaan Nabi terhadap pamannya tidak dimaksudkan untuk membedakannya dari orang lain yang mengalami keadaan yang sama. Ketika musyawarah mencapai mufakat untuk membebaskan tawanan dengan jalan menerima tebusan, Rasulullah berkata kepada pamannya, 

“Wahai Abbas, tebuslah dirimu, dan anak saudaramu Aqil bin Abu Thalib, Naufal bin Al-Harits, dan teman karibmu Utbah bin Amr, saudara Bani Harits bin Fihir, sebab engkau banyak harta.”

Abbas menginginkan bebas tanpa membayar uang tebusan, dan berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku telah masuk Islam, hanya saja orang-orang itu memaksaku (ikut berperang).” 

Tetapi, Rasulullah terus mendesaknya agar membayar tebusan. Berkenaan dengan peristiwa ini, Allah menurunkan ayat Al-Qur’an Al-Karim:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِمَنْ فِي أَيْدِيكُمْ مِنَ الْأَسْرَىٰ إِنْ يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِمَّا أُخِذَ مِنْكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu: "Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu". Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 
(QS. Al-Anfaal: 70) 

Akhirnya, Abbas memberikan tebusan untuk membebaskan dirinya dan orang-orang bersamanya, lalu pulang ke Mekah.

Setelah itu, pendirian dan keimanan Abbas tidak dapat disembunyikan lagi dari orang Quraisy. Tak lama setelah itu, ia mengumpulkan hartanya dan barang-barangnya, lalu pergi menyusul Rasulullah ke Khaibar, untuk ikut mengambil bagian dalam rombongan angkatan Islam dan kafilah orang-orang beriman. Ia sangat dicintai dan dimuliakan oleh kaum Muslimin. Apalagi ketika melihat Rasulullah sendiri memuliakan serta mencintainya, 
dan pernah bersabda tentang dirinya,

“Abbas adalah saudara kandung 
ayahku. Siapa yang menyakiti Abbas berarti telah menyakitiku.”

Abbas meninggalkan keturunan yang diberkahi dan merupakan ulama umat ini, yaitu Abdullah bin Abbas, salah seorang anak yang diberkahi.

Pada jumat, 14 Rajab 32 H, penduduk kampung dataran tinggi Madinah mendengarkan pengumuman, “Rahmat bagi orang yang menyaksikan Abbas bin Abdul Muthalib.” 
Mendengar itu, mereka tahu bahwa Abbas telah meninggal.

Orang-orang pun keluar untuk mengantarkannya ke kuburan. Jumlah mereka sangat banyak dan belum pernah ada pelayat sebanyak itu di Madinah. Jenazahnya dishalatkan oleh Khalifah Muslimin waktu itu, Utsman bin Affan, lalu dikubur di bawah tanah Baqi’ dan tubuh Abu Fadhl beristirahat di sana dengan tenang. Ia tidur nyenyak dengan hati puas, di lingkungan orang-orang berbakti yang telah memenuhi janji mereka kepada Allah. 

Semoga bermanfaat Sallam bahagia Sukses Dunia Akhirat Aamiin.

0 Response to "Abbas bin Abdul Muthalib radhiyallahu 'anhu (Pengurus Air Minum untuk Dua Kota Suci)"

Post a Comment

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar dengan Bijak