Istilah Dalam Tasawuf

 Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, karena Dialah Tuhan yang menurunkan agama melalui wahyu yang disampaikan kepada Rasul pilihan-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Melalui agama ini terbentang luas jalan lurus yang dapat mengantarkan manusia kepada kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat.

Istilah Dalam Tasawuf

Beberapa Istilah Penting dalam Ilmu Tasawuf

1. Al-Maqamat: yaitu posisi ruhani yang dilalui oleh seorang sufi dalam proses mujahadahnya, dimana ia berada dalam posisi itu untuk sementara waktu, kemudian melalui mujahadahnya ia akan terus merambat naik ke posisi yang lebih tinggi.

2. Al-Ahwal: hembusan ruhani yang merasuk ke dalam hati tanpa disengaja ataupun diusahakan. Al-ahwal adalah anugerah, sedangkan al-maqamat bisa diusahakan. Al-ahwal datang tidak berujud dan berbentuk, sedangkan al-maqamat diperoleh dengan usaha yang sungguh-sungguh.(19) (lihat ar-Risalah, hal. 118-119).

3. Al-Fana’: yakni gugur dan hilangnya sifat-sifat tercela dalam diri sufi, sedangkan al-Baqa’: adalah muncul dan berkembangnya sifat-sifat terpuji dalam diri sufi.(20) (lihat Risalah, hal. 128).

4. Al-Ghaibah: yaitu hilangnya kemampuan hati untuk mengetahui ahwal atau kondisi diri, dikarenakan terlalu sibuk dengan urusan-urusan yang bersifat materi (sesuatu yang dapat dicerna oleh panca indera), sedangkan al-Hudhur: datangnya Kebenaran (Al-Haq/Allah Swt) dalam hati, karena hati seorang sufi dikondisikan dengan mengingat Allah Swt dan melalaikan selain-Nya.

5. At-Takhalli yaitu membuang seluruh potensi buruk dan jahat dari hati dan nafsu, sedangkan at-Tahalli adalah menghiasi diri dan hati dengan sifat-sifat terpuji.

6. Assitru: tertutupnya hijab Allah Swt dari hati manusia, sedangkan at-Tajalli: adalah terbuka hijab Allah dari hati manusia.(21) (lihat ar-Risalah, hal. 133 dan 147).

7. Al-Muhadharah, al-Mukasyafah dan al-Musyahadah, ketiga istilah tersebut berkaitan dengan ma’rifat kepada Allah swt. Al-Muhadharah adalah tahap pertama, yang berarti hadirnya hati untuk selalu mengingat Allah Swt, al-Mukasyafah adalah tahap kedua yang berarti hadirnya hati untuk mulai membuka tabir yang menghalangi antara hati dengan Allah Swt, dan al-Musyahadah merupakan tahap paling tinggi yaitu hadirnya Allah Swt dalam hati, sehingga terbukalah semua tabir penghalang antara keduanya.

8. At-Talwin yaitu sifat-sifat yang dimiliki oleh ahl ahwal (sufi yang masih berproses), sedangkan at-Tamkin adalah sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh ahl haqa’iq (sufi tertinggi yang telah mencapai tahap hakikat).(22) (lihat ar-Risalah, hal. 148 dan 151).

9. As-syari’ah yaitu perintah untuk menetapi dan konsisten beribadah, sedangkan al-Haqiqah adalah terbukanya tabir penghalang antara hati sufi dengan Allah Swt (musyahadah) .

10. Ilmu al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin, Haq al-Yaqin, adalah istilah berkaitan dengan ulum al-jaliyyah (ilmu yang jelas). Yang pertama dengan syarat adanya dalil atau burhan, yang kedua karena dibuktikan dengan keterangan (bayan), sedangkan yang ketiga dibuktikan secara langsung dengan mata kepala.(23) (lihat ar-Risalah, hal. 155 dan 157).

Pengertian  Maqamat

1. Maqamat

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. 

Dalam bahasa inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. 

Secara etimologi maqam mengandung arti kedudukan atau tempat berpijak dua telapak kaki. 

Sementara itu dalam pengertian terminologi istilah maqam mengandung pengertian kedudukan, posisi, tingkatan, atau kedudukan tahapan hamba dalam mendekatakan diri kepada Allah.

Jadi, maqam sering dipahami oleh para sufi sebagai tingkatan, yaitu tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya, dalam hal ibadah dan latihan latihan (riyadah) jiwa yang dilakukannya.

2. Ahwal

Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal digunakan kaum sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. 

Kata hal dalam perspektif tasawuf sering diartikan “keadaan”. Maksudnya keadaan dalam kondisi spiritual. 

Hal, sebagai sebuah kondisi yang singgah dalam kalbu, merupakan efek dari peningkatan maqamat seseorang. 

Secara teoritis, memang bisa dipahami bahwa kapanpun seorang hamba mendekat kepada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah memanifestasikan dirinya dalam kalbu hamba tersebut.

Secara terminologis yang dimaksud dengan ahwal ialah keadaan atau keadaan kondisi psikologis yang dirasakan ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu. 

Ahwal merupakan sebuah batasan teknis dalam disiplin tasawuf untuk suatu keadaan tertentu yang bersifat tidak permanen. 

Hal masuk kedalam hati sebagai anugrah dan kerunia Allah yang tidak terbatas pada hamba-Nya. Hal tidak dapat dicapai melalui usaha, keinginan, atau undangan. 

Hal datang dan pergi tanpa diduga duga. Keadaan spiritual banyak jumlahnya dan kedudukan spiritual juga banayak.

Dapat dikatakan bahwa hal merupakan pemberian yang berasal dari Tuhan kepada hamba-Nya yang dikehendaki. 

Pemberian itu pada kalanya tanpa melalui usaha. Tidak semua orang berusaha itu berhasil, namun yang menjadi dambaan bagi setiap orang yang menjalani tasawuf. Hubungan antara usaha dan hasil dalam perkara ini tidak bersifat mutlak.

Macam - macam Maqamat

Berkaitan dengan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi untuk mencapai Tuhannya, para sufi berbeda pendapat pada hal ini. 

Terhadap perbedaan beberapa pendapat tersebut ada beberapa maqamat yang disepakati oleh para ahli tasawuf, yaitu:

1. Al-Zuhud

Zuhud secara istilah bermakna tidak ingin kepada sesutu yang bersifat keduniaan. Namun, secara umum zuhud dapat diartikan sebagai sutu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. 

Kendatipun didefinisikan dengan redaksi yang berbeda, inti dan tujuan zuhud sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir. 

Jangan sampai kenikmatan dunuawi menyebabkan susutnya waktu dan perhatian pada tujuan yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan abadi di “hadirat” Ilahi.

Dilihat dari maksudnya zuhud dibagi mejadi tiga tingkatan.

  1. Menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. 
  2. Menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. 
  3. Mengucilkan dunia bukan karna takut atau berharap, tetapi karena cinta karen Allah. 

Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandabg segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai apa-apa.

2. At-Taubah

At-Taubah adalah rasa penyesalan yang sungguhsungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa. 

At-Taubat di bagi menjadi tiga tingkatan yakni ; 

  1. Taubat yang paling rendah yaitu memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan yang telah dilakukan pada saat yang lampau.
  2. Taubat yang lebih tinggi tingkatannya yaitu taubat terhadap pangkal dosan seperti taubat dari sifat dendam, sombong, iri, riya’, pamer, dll. 
  3. Taubat tertinggi yaitu taubat untuk berusaha menjauhkan diri dari bujukan setan dan kelalaian dari mengingat Allah.

3. Al-Wara’

Al-Wara’ adalah sikap berhati-hati terhadap ketentuan-ketentuan Allah. Mereka yang memiliki sifat ini selalu berusaha agar tidak melanggar aturan Allah meskipun itu hanya kemaksiatan yang tanpak kecil. 

Seseorang yang bersifat wara’ adalah mereka yang selalu berhati-hati dalam segala perilakunya sehingga tidak terjerumus pada hal-hal yang tidak disenangi atau diridai Allah baik yang hukumnya makruh apalagi haram.

4. Al –Faqr (Fakir)

 Al –Faqr adalah tidak menuntut banyak dan merasa cukup dengan apa yang telah diterima dan dianugerahi oleh Allah, sehingga tidak mengharapkan atau meminta sesutu yang bukan haknya. 

Dengan demikian, seseorang yang faqr selalu merasa berkecukupan dan merasa puas dalam menjani kehidupan. Sikap ini sangat penting sehingga manusia dapat terhindar dari sifat serakah dan rakus. 

Sikap al-Faqr merupakan kelanjutan sikap zuhud, karena dengan zuhud terhadap kehidupan dunia dengan tidak terperdaya tipudaya dunia, sesorang akan merasa puas dan cukup dengan apa yang diperolehnya. 

Selain itu sifat al-Faqr akan menghasilkan sifat wara’, karena dengan menerima apa yang dianugerahkan Allah kepadanya, ia akan bersikap hati-hati dan tidak akan menuntut yang bukan haknya.

5. As-Shabr (sabar)

Sifat As-Shabr adalah salah satu sifat andalan bagi kaum sufi. Sifat sabar merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh para nabi dan rasul. Mereka yang memiliki yang memiliki kesabaran yang luar biasa dinamakan dengan ulul al-‘azmi. 

Jadi sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, demikian juga tenang ketika mendapatkan cobaan dariNya, menampakkan sifat yang berkecukupan sekalipun hidup dalam kekurangan.

Dalam ajaran tasawuf sifat sabar dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

  1. Sabar dalam beribadah kepada Allah.
  2. Sabar dalam menjauhi larangan Allah.
  3. Sabar dalam menerima cobaan dari Allah.

6. Tawakkal

Secara terminologi tawakkal adalah membebaskan diri dari segala ketergantungan kepada selain Allah Subhanahu wa ta'ala dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.

Jadi, tawakkal adalah sikap pasrah terhadap Allah dalm menjalani setiap urusan. Tawakkal dapat dimaknai sebagai sikap hati untuk menyerahkan diri kepada qada’ dan qadar Allah.

7. Rela (Rida’)

Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang telah di anugerahkan Allah Subhanahu wa ta'ala 

Orang yang memiliki sikap rida’ mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuanNya. 

Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemaha sempurnaan dzat yang meberikan cobaan kepadanya sehingga tidak menegeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut.

8. Mahabbah

Mahabbah (mencintai) Allah adalah kedudukan yang paling tinggi dan mulia guna menuju keridaan Allah, karena hanya Allah yang maha Besar, Maha Penguasa, Maha Suci, Maha Pencipta, dan Maha Pemberi.

9. Ma’rifah

Secara etimologi kata dasar ma’rifat berasal dari kata arafah yang artinya “mengetahui atau mengenal”. Makrifat berarti juga pengetahuan. 

Jadi mak’rifat artinya mengenal Allah dengan mata hati, sekaligus ujung perjalanan dari segala ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh kaum sufi. 

Unsur ma’rifat adalah “cinta” dan hasil dari ma’rifat adalah “pandangan”.

Kaitan antara maqomāt dan al-ahwal dalam Tasawuf

Maqamat, merupakan tahapan rohani yang ditempuh oleh para pengamal tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala 

Maqom berupa sifat/ prilaku yang sudah melekat dalam diri seseorang, misalnya prilaku taubat, tawakkal, wara’, syukur, zuhud dan sebagainya. 

Sedangkan al-ahwaḷ, bentuk jamak dari hạ̄l, adalah keadaan mental yang dirasakan oleh para pengamal tasawuf sebagai anugerah yang datang dari Allah Subhanahu wa ta'ala. 

Hal datang begitu saja sebagai pemberian Allah tanpa ditarik, tanpa disengaja dan tanpa diupayakan. 

Misalnya kondisi senang, sedih, takut, berani, cukup kurang dan sebagainya sebagai akibat seseorang mengamalkan suatu amalan dalam tashawuf. 

Contoh seseorang yang sedang dzikir tahlil, taḥmid, istighfar tiba-tiba muncul dalam dirinya perasaan takut, khawatir dan ingin menangis. 

Karena itu tidak heran jika kita sering menyaksikan orang tiba-tiba menangis saat berdzikir. Prasaan tersebut namanya hạ̄l. 

Maqām merupakan usaha, sedangkan haḷ merupakan anugerah. Keadaan hati dinamakan hạ̄l karena berubah-ubah dan dinamakan maqām karena telah tetap.

Setiap hal tersebut menuntut sikap dari seseorang sesuai kondisi. Jika kondisi senang maka syukur, kondisi takut karena merasa banyak dosa maka menuntut taubat dan melakukan taat dan bersikap wara’. 

Jika dala kondis sakit, sedih maka bersabar. Apabila sikap taubat, taat, sabar, syukur , wara’ dan sebagainya tadi sudah menetap dan selalu muncul ketika kondisi menuntut, maka sikap-sikap tersebut disebut maqom.

Orang yang ingin dekat dengan Allah bahkan ma’rifat kepada Allah maka harus melalui dan memiliki maqom-maqom yang benar-benar melekat dalam diri seseorang. 

Maqom ini dicapai melalui latihan jiwa (Riyaḍātun an-Nafs) dan upaya yang sungguh-sungguh (Mujahaḍātun an-Nafs), bahkan memerangi kesenangan jiwa. Untuk mencapainya biasanya ditempuh melalui jalan ilmu tasawuf.

0 Response to "Istilah Dalam Tasawuf"

Post a Comment

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar dengan Bijak