Hakikat Puasa Menurut Imam Ghazali

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam keluarga sahabat dan para pengikutnya yang setia dan istiqamah.

Ibadah puasa. Sebagai sebuah rahasia tersendiri antara seorang hamba dan Rabbnya, puasa tidak bisa dimaknai sebatas menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Rasulullah pun mengingatkan dalam sebuah hadisnya,"Kam min shāimin laisa lahu min shaumihi illa al-jū’ waal-‘Athas". "Brapa bnyak orang yang beruasa,tapi mereka tdk mendapatkan apa2 dari puasanya,kecuali lapar dan haus".

Meski hal itu termasuk bagian dari penjelasan makna puasa secara istilah, namun Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, menuliskan serta mengingatkan hal yang berbeda dalam mengupas hakikat puasa Ramadhan baik dalam tujuannya, maupun tingkatan-tingkatan orang mukmin yang menjalani puasa.

Imam Ghazali merupakan Tokoh ulama besar yang lahir di daerah Tus, Iran. Ulama yang dijuluki sebagai “Hujjat al-Islam” ini sangat menguasai berbagai macam disiplin keilmuan, terlebih ilmu kalam dan tasawuf. Dan bukan berarti itu semua menafikan kemampuannya dari ilmu-ilmu lainnya. Ihya Ulumuddin merupakan bukti yang sangat nyata atas kearifan beliau terhadap ilmu pengetahuan agama dan juga kematangannya dalam memahami konsep tasawuf. 

Bahkan pernah dikatakan bahwasanya kedudukan ihya adalah sepertiga dari agama dan hampir menyerupai al-Quran. Kitab-kitab tasawuf yang dibuat setelah ihya merupakah bagian-bagian yang dipecah dari buku induknya yaitu ihya. Sepertihalnya Bidayat al-Hidayah, Minhaj al-‘Abidiin, Kitab
al-‘Arbaiin fi Ushuluddin, ‘Ajaaib al-Qalb dan kitab-kitab lainnya.

Dalam “Kitab al-Arba’in fii ushuluddin” pada bab Ibadah zahir, yaitu puasa, Imam Ghazali mengatakan bahwa kekhususuan puasa diperuntukkan untuk dua perkara :

1. Agar manusia dapat menahan dirinya, karena sejatinya puasa adalah ibadah rahasia yang tidak diketahui siapapunn melainkan Allah, berbeda dengan ibadah lainnya seperti shalat,zakat, haji, dan lainnya.

Dalam hal ini, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda :

قَالَ رَسُولُ اللهِ صلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُلُّ حَسَنَةٍ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا الَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِه 

“Setiap kebaikan berganjar sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus pahala kebaikan, kecuali puasa. itu adalah milik-Ku dan aku yang akan memberinya ganjaran”

2. Agar manusia mampu menaklukkan musuh Allah, yaitu setan. Karena sesungguhnya, setan merupakan musuh yang nyata. Sementara setan tidak akan dapat kuat tanpa hadirnya  perantaran syahwat. Dan kondisi laparlah yang dapat menghancurkan seluruh syahwat, yang mana itu adalah perantara setan masuk kedalam tubuh kita.

Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda :

قَالَ رَسُولُ اللهِ صلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  :  إِنَّ الشَّيطَانَ لَيَجْرِي مِنْ ابْنِ آدَم مَجْرَى الدَّمِ, فَضَيِّقُوا مَجَارِي الشَّيْطَان بِالجُوعِ

“Sesungguhnya setan akan mengalir dari aliran darah manusia, maka perlemahlah peraliran darah itu dengan kondisi lapar”.

Dan ini merupakan rahasia dari perkataan Rasulullah yang berbunyi :

قَالَ رَسُولُ اللهِ صلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجِنَانِ, وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النِّيْرَانِ, وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ,
وَنَادى المُنادِي : يَا بَاغِيَ الْخَيرِ هلُمَّ, ويا بَغِيَ الشَّر أَقْصِرْ )

“Apabila memasuki bulan Ramadhan, dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta dibelenggulah setan-setan. Lalu salah satu malaikat berkata : wahai yangmengerjakan kebaikan, teruskanlah! Dan wahai yang mengerjakan keburukan, tinggalkanlah!
       
Menurut Imam Ghazali, puasa berdasarkan kuantitas atau ukurannya dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan.

Yang pertama adalah mereka yang puasanya hanya sebatas pada bulan Ramadhan, dan ini merupakan tingkatan yang paling rendah. Adapun tingkatan yang paling tinggi adalah puasa Nabi Daud Alaihi Sallam, yaitu berpuasa satu hari dan berbuka satu hari. Dalam salah  satu hadis sohih pun dikatakan bahwasanya puasa Daud lebih mulia dari puasa dahr,  atau puasa setiap harinya. 
     
Rahasia dari hal tersebut adalah bahwasanya barang siapa yang menjalani puasa dahr, akan menjadikan puasa menjadi hal yang biasa bagi dirinya, sehingga tidak merasakan sesuatu kesusahan pada dirinya, kejernihan pada jiwanya, dan kelemahan pada syahwatnya, karena sesungguhnya jiwa akan berpengaruh dengan apa yang mebuatnya menolak, bukan apa yang membuatnya terbiasa. 

Seorang dokter juga melarang untuk terbiasa meminum obat, karena barang siapa yang terbiasa seperti itu, tidak akan ada manfaat baginya ketika ia sakit.  Ini adalah rahasia dari perkataan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, ketika ditanya oleh Ibnu Umar tentang puasa. Rasul berkata, “shum yauman wa afthir yauman”, lalu ia berkata, “urīdu afdholu min dzāika”, Rasul pun menjawab “lā afdola min dzālika”.

Dalam hadistnya, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda, ” Man shoma romadhona imanan wahtisaban ghufiro lahu maa taqoddama min dzanbih“

Artinya, barang siapa yang berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka semua dosanya yang lalu akan diampuni.
       
Suatu hari ketika dikatakan pada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam,

“Sesungguhnya fulan telah berpuasa dahr”, maka Rasulullah menjawab, “Lā shāma wa lā afthara”. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara sohih ini terdapat perbedaan pendapat dalam pemaknaannya. Dalam Allum’āt pun dikatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat dalam pemaknaannya. Dikatakan bahwa ini adalah seruan kepadanya atas makruhnya perbuatan tersebut dan teguran bagi yang melakukannya. 

Namun pendapat lain mengatakan bahwa zohirnya adalah tidak adanya berbuka. Adapun tidak adanya berpuasa, tentu tidak bisa. Karena mereka harus mengerjakannya pada waktu-waktu dilarangnya puasa, dan itu adalah haram.

Adapun tingkatan tengahnya adalah puasa sepertiga dari puasa dahr, atau berpuasa Senin dan Kamis.

       
Dalam Ihya ‘Ulumuddin Imam Ghazali mengatakan bahwa dalam menjalankan puasa, tiap orang  dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan :

1.  Mereka yang hanya sebatas tidak makan dan minum serta menahan dari yang membatalkan puasanya. Disamping itu ia tidak menjaga anggota badannya dari hal-hal yang makruh dan tercela. Tingkatan ini bisa disebut dengan puasa umum.

2.  Mereka menahan dari yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dan juga menjaga seluruh anggota tubuhnya dari perbuatan yang tercela. Lisan mereka dijaga dari ghibah, matanya dari melihat yang tidak baik, begitupun anggota-anggota tubuh lainnya. Inilah yang dinamakan puasa khusus.

3. Mereka yang juga membarenginya dengan penjagaan hati dari berfikir, kegelisahan, dan menjadikannya untuk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Ia membersihkan dan mensucikan jiwanya dari segala perbuatan tercela. Mereka menjaga hati dan fikirannya dari hal dunia, dan menjaganya dari  selain Allah secara menyeluruh. Dan itulah puasa khusus al-khusuus. Sebagai penutup dari bab ini, Imam Ghazali melengkapinya dengan sebuah lantunan nasehat yang sangat menyentuh. Ia mengatakan bahwa hendaknya berbuka dengan makanan-makanan yang halal dan bukan syubhat. 

Dan juga tidak memperbanyak memakan makanan yang halal, hingga memenuhi lambungnya dan memperkuat syahwatnya. Karena itu akan menghilangkan rahasia keutamaan puasa dan

mengakibatkan kemalasan untuk bertahajud dimalam hari atau bisa jadi ia belum bangun sebelum subuh. Itu semua adalah kerugian yang besar dan tidak adanya faidah dari puasa. wallahu a’lam bisshowab. 

Semoga ibadah puasa kita senantiasa bermakna dan amal ibadah kita meningkat, dibula Syawwal ini sebagai awal dari aplikasi dari keberhasilan puasa Ramdlan kita. Aamiin


0 Response to "Hakikat Puasa Menurut Imam Ghazali"

Post a Comment

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar dengan Bijak