Etika Islam Dalam Penerapan Ilmu Hukum

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa ta’ala, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dari-Nya, dan meminta ampunan-Nya. 

Kita berlindung kepada-Nya dari keburukan-keburukan jiwa kita, dan kejelekan-kejelekan perbuatan kita. 

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarganya, para sahabatnya, dan orang orang yang setia meniti jalan petunjuknya hingga hari kiamat.

Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya, sedangkan etika Islam pada dasarnya adalah watak kesusilaan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai petunjuk dari Allah tentang apa yang seharusnya diperjuangkan dan dilakukan oleh manusia.

Pada pembahasan kali ini kita fokuskan pada 3 pembahasan, yaitu : 

  1. Ilmu dan kemanusiaan; 
  2. Ilmu dan kemaslahatan hidup manusia; dan 
  3. Ayat –ayat al-Qur’an dan hadis yang relevan dengan etika hukum Islam. 
Oleh karena itu, melalui pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan mengaplikasi etika Islam dalam penerapan ilmu hukum.

1. Ilmu dan Kemanusiaan

Kedudukan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari belum dapat dirasakan. Ilmu sama sekali tidak memberikan pengaruhnya terhadap masyarakat. 

Ungkapan Aristoteles tentang ilmu “Umat manusia menjamin urusannya untuk hidup sehari-hari, barulah ia arahkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan”. Hubungan ilmu dengan kemanusiaan memiliki hubungan yang sangat erat. 

Hal ini dikarenakan ilmu bisa berkembang karena keberadaan manusia, dan manusia mewujudkan sifat-sifat baiknya untuk memelihara kelangsungan hidup ini di dunia dan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya juga dengan ilmu. 

Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala di dalam Al-Qur’an, berikut:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30)

Dewasa ini ilmu menjadi sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari, seolah-olah manusia tidak dapat hidup tanpa ilmu pengetahuan. 

Kebutuhan yang sederhanapun sekarang memerlukan ilmu, misalnya kebutuhan sandang, papan, dan papan sangat tergantung dengan ilmu. Kegiatan ilmiah dewasa tersebut berdasarkan pada dua keyakinan berikut:

1. Segala sesuatu dalam realitas dapat diselidiki secara ilmiah, bukan saja untuk mengerti realitas dengan lebih baik, melainkan juga untuk menguasainya lebih mendalam menurut segala aspeknya.

2. Semua aspek realitas membutuhkan juga penyelidikan primer, seperti air, makanan, udara, cahaya, kehangatan, dan tempat tinggal tidak akan cukup untuk penyelidikan itu.

Dalam hal ini An-Nabhani, memandang bahwa aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. 

Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam alQur`an dan al-Hadits menjadi qaidah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia. 

Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun, yaitu 

“bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan”, (Q.S. al-Alaq [96]: 1). 

Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas aqidah Islam.

Dengan demikian, paradigma Islam ini menyatakan bahwa, ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu (Sulaiman, 1994). Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala : 

وَلِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُّحِيْطًا ࣖ

“Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha meliputi segala sesuatu.”(Q.S. an-Nisaa` [4]: 126). 

Dan juga dalam firmanNya : 

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ࣖ

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. ath-Thalaq [65]: 12).

Di sisi lain, Islam meletakkan kaidah-kaidah yang akan menjaga hakekat kemanusiaan tersebut dalam hubungan antar individu atau antar kelompok. Hal ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah melebihkan manusia atas segala makhluk yang lain. 

Dimana manusia diciptakan dari himpunan dua unsur yaitu tanah dan ruh Allah, diciptakan sebaik-baik kejadian dan dibekali dengan akal dan sarana-sarana penyempurna yang lain agar benar-benar siap menjadi

makhluk yang paling mulia. Sebagaimana juga telah ditaklukkan dan ditundukkan makhlukmakhluk yang lain untuk memenuhi kebutuhan dan keperluannya. 

Semua ini dimaksudkan agar kemungkinan manusia mengemban amanah sebagai khalifah dan hamba yang beribadah dan memakmurkan bumi sesuai dengan petunjuk Tuhannya. 

Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

 وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ࣖ

“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.S. Al-Israa’ [17]: 70).

2. Ilmu untuk Kemaslahatan Hidup

Ilmu pengetahuan merupakan salah satu hal penting yang harus dimiliki dalam kehidupan manusia. 

Dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Merupakan kenyataan bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. 

Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai kehidupan yang sulit lainnya.

Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi. Singkatnya, ilmu merupakan sarana membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.

Ilmu pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan hidup manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat, dan kelestarian manusia. 

Mengenai pemanfaatan ilmu, Suriasumantri mengemukakan: “Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia”. 

Inilah salah satu alasannya mengapa Allah menyatakan bahwa antara orang yang berilmu dengan yang tak berilmu tidak boleh disamakan. sebab hanya orang yang berilmulah yang dapat mengambil pelajaran, sehingga ia dapat mengambil manfaat dari peoses kehidupan ini. 

Tugas kekhalifahan akan mecapai sukses jika didukung dengan ilmu.

اَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ اٰنَاۤءَ الَّيْلِ سَاجِدًا وَّقَاۤىِٕمًا يَّحْذَرُ الْاٰخِرَةَ وَيَرْجُوْا رَحْمَةَ رَبِّهٖۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ ࣖ

“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Q.S. Az-Zumar [39]: 9)

Sukses mengemban amanat tersebut sering wujud dengan perasaan bahagia. Dalam konteks ini, Rasulullah menegaskan dalam salah satu haditsnya bahwa siapa saja yang terus berproses dalam belajar mencari pengetahuan dan ilmu, maka Allah akan menunjukkan kemudahan mencapai “surga”. 

Statemen Rasulullah ini sekarang menjadi semboyan bahwa ilmu dan tehnologi menawarkan kenyamanan hidup.

مَنْ سَلَكَ طََرِيْقاً يَبْتَغِي فِيْهِ عَلْماً سَهَّلَ اللهُ لََهُ طََرِيْقاً إِلَى الجَنَّةِ، وَإِنَّ المَلَائِكَةَ لََتََضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضاً بِِمَا يَصْنَعُ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لََيَسْتَغْفِرُ لََهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمنْ فِي الَأرْضِ حَتَّى الحِيْتَانُ فِي المَاءِِ، وَفََضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كََفَضْلِِ الْقََمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلََمَاءَ وَرَثََةُ الَأنْبِيَاءِِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لََمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَاراً وَلَا دِرْهَماً وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فََمَنْ أََخَذَهُ أََخَذَ بِحَظِّ وَافِرٍ . رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ

"Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudahnya jalan ke surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan serang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak." (HR. Abu Dawud: 3157)

Oleh karena itu menurut al-Qur’an, semboyan ilmu hanya untuk ilmu, atau belajar hanya untuk pengembangan ilmu, tidak dikenal sama sekali. 

Ilmu pengetahuan atau belajar dalam perspektif al-Quran tidak bebas nilai, tetapi harus memiliki nilai ilahiyah (transenden); dikembangkan sebagai bagian dari ibadah kepada Allah dan diorientasikan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan bagi kemanusiaan. 

Itulah sebabnya maka kaum muslimin dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam untuk berfikir dan berbuat hal-hal yang tidak berguna, dan sebaliknya didorong untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Sebagaimana dalam riwayat berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي الْهُذَيْلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَعَوَّذُ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَدُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ وَنَفْسٍ لَا تَشْبَعُ

“Dari Abdullah bin Amru berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selalu berlindung dari empat perkara, yaitu; ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu', doa yang tidak didengar dan jiwa yang tidak pernah merasa puas." (HR. An-Nasai: 5347)

Selanjutnya dari hadits dan ayat di atas dapat dipahami pula bahwa bagian penting dari proses belajar adalah kemampuan individu untuk memproduksi hasil belajarnya menjadi hal-hal yang bermanfaat. 

Hal ini bisa dikaitkan dengan kemampuan Nabi Adam a.s. menyubutkan nama-nama kepada Malaikat. Demikian juga kemampuan Qabil untuk menguburkan jenazah saudaranya yang telah dibunuh. 

Jadi belajar harus membuahkan perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, maka proses belajar menjadi wahana untuk memiliki kemampuan memilih.

Selain kedudukan manusia sebagai khalifah, juga sebagai hamba Tuhan (‘abid), manusia dituntut selain untuk memiliki pengetahuan tentang keyakinan yang benar akan eksistensi Tuhan, sifat-sifat Tuhan, makna dan eksistensi kehidupannya di alam dunia maupun alam akhirat

Mahluk-mahluk Tuhan yang tidak tampak kasat mata tetapi mereka ada di sekitar kita dan saling berhubungan, antara lain tentang kehidupan sesudah mati, alam barzakh, kiamat, surga dan neraka. 

Oleh karena itu, manusia juga dituntut memiliki ilmu tentang aturan-aturan Tuhan yang diperuntukkan bagi manusia.

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa menurut al-Qur’an pengembangan ilmu memiliki tujuan yang mulia yakni untuk menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam semesta. 

Sebaliknya, ilmu tidak boleh digunakan untuk tujuan yang dapat mengakibatkan kerusakan di muka bumi baik merusak manusia secara individu maupun sosial maupun merusak alam dan lingkungan.

Dengan demikian, pengembangan ilmu sejatinya terikat dengan nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan (meaningfull). 

Al-Qur’an tidak dapat menerima pandangan sebagian filosof dan ilmuan Barat yang berpendapat bahwa ilmu dapat bebas dinilai (meaningless).

Pandangan yang menyatakan bahwa ilmu bebas nilai dikemukakan oleh para filosof dan ilmuan sekuler yang memisahkan ilmu dari nilai-nilai agama, etika dan moral. 

Seperti jargon mereka yang mengatakan bahwa “ilmu untuk ilmu” atau “seni untuk seni”, sehingga pengembangan ilmu pengetahuan dan seni tidak perlu memperhatikan nilai-nilai moral, etika dan agama. Pandangan yang demikian jelas bertentangan dengan konsep ilmu dalam al-Qur’an.

3. Ayat –Ayat Al-Qur’an dan Hadis yang Relevan dengan Etika Hukum Islam

Secara terminologis arti kata etika sangat dekat pengertiannya dengan istilah AlQur’an yaitu al-Khuluq. Untuk mendeskripsikan konsep kebajikan, Al-Qur’an menggunakan sejumlah terminologi sebagai berikut: khair, bir, ‘adl, haq, ma’ruf, dan taqwa. 

Menurut ajaran Islam, akhlak adalah perilaku yang berhubungan dengan ketaatan terhadap perintah dan aturan yang telah ditentukan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam berbagai aspek

kehidupan. Akhlak berkaitan dengan kewajiban bagi setiap individu umat Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Etika dalam Islam juga dapat disebut akhlak. Menurut M. Yatimin Abdullah: Etika Islam merupakan ilmu yang mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku buruk sesuai dengan ajaran Islam yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits. 

Etika Islam mengatur, mengarahkan fitrah manusia dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah Subhanahu Wa Ta'ala, menuju keridhaan-Nya. 

Manusia yang melaksanakan etika Islam niscaya selamat dari pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan yang keliru dan menyesatkan.

Konsep etika penegakan hukum dalam Al-Qur’an berlandaskan pada nilai al-qisth (kesamaan), al-‘adl (keadilan), dan al-bir (kebaikan). Berlaku adil dilakukan dalam keadaan apapun, sebagaimana firman Allah berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Maaidah [5]: 8)

Etika dalam Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk. 

Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah Subhanahu Wa Ta'ala (Al-Qur’an dan ajaran rasul-Nya (Sunnah). 

Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat. Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur (Akhlaqul

Karimah) dan meluruskan perbuatan manusia di bawah petunjuk Al-Qur’an untuk menyelamatkan manusia dari perilaku yang keliru dan menyesatkan. 

Dengan ajaran Islam yang praktis dan tepat, cocok dengan fitrah (naluri) dan akal pikiran manusia, maka etika Islam dapat dijadikan pedoman hidup oleh seluruh manusia .

Islam memandang etika adalah bagian dari akhlak manusia karena akhlak bukanlah sekedar menyangkut perilaku yang bersifat lahiriah semata, tetapi mencakup hal-hal yang kompleks, yaitu mencakup bidang, akidah, ibadah, dan syari’ah. Al-Qur’an menyinggung penegak hukum diperintahkan untuk adil dan konsisten pada kebenaran. 

Hal ini merupakan refleksi etika penegak hukum, khususnya penegak hukum, seperti polisi, jaksa, hakim, dan advokat dalam menegakan keadilan yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits, sebagaimana berikut:

اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرٰىكَ اللّٰهُ ۗوَلَا تَكُنْ لِّلْخَاۤىِٕنِيْنَ خَصِيْمًا ۙ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S. An-Nisaa’ [4]: 105)

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. AnNisaa’ [4]: 135)

عَنْ يَحْيَى بْنِ رَاشِدٍ، قَالَ جَلَسْنَا لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَخَرَجَ إِلَيْنَا فَجَلَسَ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ ‏ "‏ مَنْ حَالَتْ شَفَاعَتُهُ دُونَ حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ فَقَدْ ضَادَّ اللَّهَ وَمَنْ خَاصَمَ فِي بَاطِلٍ وَهُوَ يَعْلَمُهُ لَمْ يَزَلْ فِي سَخَطِ اللَّهِ حَتَّى يَنْزِعَ عَنْهُ وَمَنْ قَالَ فِي مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ ‏"‏ ‏.‏

“Dari Yahya bin Rasyid, dia berkata: kami bertamu di rumah Abdullah bin Umar, sebentar kemudian dia keluar untuk menemui kami dan duduk bersama, lalu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda, “Barangsiapa memberikan pertolongan di luar batas aturan Allah, berarti dia telah melawan Allah. Barangsiapa memperjuangkan suatu kebatilan sedangkan dia tahu itu adalah perbuatan batil, maka Allah akan selalu murka kepadanya, kecuali dia berhenti melakukannya. Barangsiapa menuduh tanpa bukti tentang suatu perkara kepada seorang mukmin, maka Allah akan menceburkannya ke dalam Radghat Al-Khibal (neraka), kecuali dia mencabut kembali perkataannya tersebut”. (Abu Dawud: 3597). 

عَنْ بُرَيْدَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ قَاضِيَانِ فِي النَّارِ وَقَاضٍ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ الْحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ لَا يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ قَضَى بِالْحَقِّ فَذَلِكَ فِي الْجَنَّةِ

“Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga: seseorang yang menghukumi secara tidak benar padahal ia mengetahui mana yang benar, maka ia di neraka. Seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia, maka ia di neraka. Dan seorang hakim yang menghukumi dengan benar, maka ia masuk surga." (HR. At-Tirmidzi: 1244)

Kandungan ayat Al-Qur’an dan hadits di atas, menuntut bahwa keadilan harus ditegakkan. Untuk mewujudkan cita-cita keadilan tersebut diperlukan usaha yang sungguhsungguh 

Serta kemampuan intelektual yang sesuai dengan syari’at Islam guna mendapatkan makna keadilan sesuai ketentuan Allah Subhanahu Wa Ta'ala berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. 

Dalam hubungan dengan kehidupan sesama manusia, pokok-pokok ajaran Islam dalam Al-Qur’an memberikan dasar yang kokoh dan permanen bagi seluruh prinsip etika dan moral yang dibutuhkan 

Dalam menjalani kehidupan dan memberikan jawaban yang komprehensif dan menyeluruh untuk segala persoalan tingkah laku manusia, 

Baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Sebagai tujuan menciptakan kehidupan yang berimbang di dunia demi mencapai tujuan kebahagiaan di akhirat.

Kesimpulan

Hubungan ilmu dengan kemanusiaan memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini dikarenakan ilmu bisa berkembang karena keberadaan manusia, dan manusia mewujudkan sifat-sifat baiknya untuk memelihara kelangsungan hidup ini di dunia dan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya juga dengan ilmu.

Ilmu pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan hidup manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat, dan kelestarian manusia yang didasarkan pada tugas dan kedudukan manusia sebagai khalifah dan Abdullah (‘abid). 

Sedangkan konsep etika penegakan hukum dalam Islam berlandaskan pada nilai al-qisth (kesamaan), al-‘adl (keadilan), dan al-bir (kebaikan).

0 Response to "Etika Islam Dalam Penerapan Ilmu Hukum"

Post a Comment

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar dengan Bijak