Paradigma Islam Tentang Ilmu Hukum

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa ta’ala, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dari-Nya, dan meminta ampunan-Nya. 

Kita berlindung kepada-Nya dari keburukan-keburukan jiwa kita, dan kejelekan-kejelekan perbuatan kita. 

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarganya, para sahabatnya, dan orang orang yang setia meniti jalan petunjuknya hingga hari kiamat.

Pembahasan kali ini akan mengantarkan kita semua untuk memahami paradigma Islam tentang ilmu hukum. 

Diharapkan, melalui pembahasan tersebut, maka kita semua akan mampu menjelaskan hukum Islam baik aspek ontologis, epistemologis, maupun aksiologisnya. 

Dengan kajian paradigma Islam tentang imu hukum lebih difokuskan pada upaya mendiskusikan tentang hakikat hukum Islam. 

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan hukum Islam itu? Ragam konsepsi terkait hukum Islam, mencakup konsep syariat, fiqh, dan qanun serta keutamaan mempelajarai ilmu hukum.

Dan juga dipertajam dengan memahami teori-teori hukum Islam, pembuktian secara ilmiah kebenaran Al-Qur’an dalam bidang hukum dan penggalian ayat-ayat dan hadits yang memiliki keterkaitan dengan penerapan hukum.

Hukum Islam, pembuktian secara ilmiah kebenaran Al-Qur’an dalam bidang hukum dan penggalian ayat-ayat dan hadits yang memiliki keterkaitan dengan penerapan hukum.

Hakikat Ilmu Hukum Dalam Perspektif Islam

Ilmu Hukum dalam perkembangannya, selalu diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik oleh ilmuwan sosial maupun ilmuwan hukum sendiri. 

Sudah sejak lama sebuah pertanyaan timbul dan harus dijawab secara akademis, apakah ilmu hukum itu ilmu? 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidak sekedar membuat pernyataan,tetapi harus dikaji dan dianalisis berdasarkan landasan pijak yang kuat dan jelas dari aspek keilmuan.

Kata ilmu berasal dari bahasa Arab (‘ilm), bahasa Latin (science) yang berarti tahu atau mengetahui atau memahami. 

Ditinjau dari sudut istilah ilmu (science), menyandang dua makna, yaitu sebagai produk dan sebagai proses. Sebagai produk, ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji kebenarannya dalam bidang tertentu dan tersusun dalam suatu sistem. 

Sebagai proses, ilmu memiliki dua pengertian, yaitu : 

  1. Memperoleh pengetahuan dalam bidang tertentu secara bertatanan (stelselmatig) atau sistematis dengan menggunakan seperangkat pengertian yang secara khusus diciptakan untuk itu.
  2. Mengamati gejala-gejala (gegevens) yang relevan pada bidang tersebut, yang hasilnya berupa putusan-putusan yang keberlakuan-nya terbuka untuk dikaji oleh orang lain berdasarkan kriteria yang sama dan sudah disepakati atau yang dilazimkan dalam lingkungan komunitas keahlian dalam bidang yang bersangkutan.

Sedangkan kata “hukum” berasal dari kata Arab hukm (kata jamaknya ahkaam) yang berarti “putusan” (judgement, verdict, decision), “ketetapan” (provision), “perintah” (command), “pemerintahan” (government), “kekuasaan” (authority, power), “hukuman” (sentence) dan lain-lain. 

Kata kerjanya, hakama, yahkumu, berarti “memutuskan”, “mengadili”, “menetapkan”, “memerintahkan”, “memerintah”, “menghukum”, dan “mengendalikan”. 

Asal usul kata hakama berarti “mengendalikan dengan satu pengendalian”. Jadi ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang objeknya ilmu hukum. 

Pembahasan berikutnya diarahkan tentang hukum Islam dalam perspektif Islam. Kata “hukum Islam” tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam

Yang ada dalam Al-Qur’an adalah istilah syariat, fiqh, hukum Allah, dan yang seakar dengan dengannya atau yang biasa digunakan dalam literatur hukum dalam Islam adalah syariat Islam, fiqh Islam, dan hukum syara’. 

Dengan demikian, hukum Islam adalah istilah khas Indonesia yang diterjemahkan secara harfiah dari terma Islamic law dari literatur Barat. 

Istilah hukum Islam bukan merupakan terjemahan dari syariat, sebab Islamic law sangat berbeda dengan syariat, baik filosofis, sumber pengambilan, dan tujuan.

Kata hukm dalam Al-Qur’an sebagai “putusan” atau “ketetapan” terhadap permasalahan yang “diputuskan” atau “ditetapkan” (hukima), di samping berhubungan dengan perbuatan Allah, juga berhubungan dengan perbuatan manusia. 

Dengan kata lain, hukum ada yang berasal dari ketentuan Allah dan ada yang berhubungan dengan ketentuan manusia.

Selanjutnya Rifyal Ka’bah menjelaskan, bahwa hukum menyangkut perbuatan Allah adalah keputusan yang akan diberikan di hari akhirat terhadap permasalahan yang diperdebatkan di kalangan manusia. 

Misalnya, keputusan menyangkut perselisihan antara ummat Kristen dengan Yahudi (Q.S. Al-Baqarah [2]: 113), antara pengikut Nabi Isa tentang status kematian beliau (Q.S. Ali Imran [3]: 55), antara orangorang munafik dan umat Islam (Q.S. An-Nisaa’ [4]: 141), dan antara sesama manusia (Q.S. al-Hajj [22]: 56). 

Keputusan atau ketetapan hukum Allah tersebut juga berlaku di dunia (Q.S. ar-Ra’d [13]: 41). Di sini dapat dilihat hubungan erat antara hukum dengan konsep jaza’ (pembalasan, sanksi) dari satu sisi, dan antara hukum dan keadilan dari sisi lain.

Sedangkan hukum yang menyangkut perbuatan manusia adalah hukum sebagai perintah dari Allah supaya manusia memutuskan perkara atau urusan (di dalam atau di luar pengadilan, dan dalam masyarakat pada tingkat kehidupan orang perorang atau pemerintahan pada tingkat kehidupan bernegara) berdasarkan keadilan (Q.S. al-Maidah [5]: 5, an-Nisaa’ [4]: 58) dan sesuai dengan yang diajarkan oleh Allah (Q.S. an-Nisaa’ [4]: 105).

Jadi, hukum dalam perspektif Islam adalah ketetapan, keputusan dan perintah yang berasal dari Allah dan legislasi manusia yang bertujuan untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara. 

Sebagai ketetapan yang berasal dari perintah Allah yang Maha Tahu kemaslahatan hambaNya, maka hukum ilahi berisikan keadilan seluruhnya. 

Sebagai ketetapan yang berasal dari legislasi manusia, hukum manusia harus berdasarkan kepada hukum ilahi dan rasa keadilan yang paling tinggi.

Sementara itu, Amir Syarifuddin memberikan penjelasan bahwa apabila kata “hukum” dihubungkan dengan “Islam”, hakikat hukum Islam adalah ;

“Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. 

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah hukum yang berdasarkan wahyu”.

Definisi hukum Islam pun berbeda di kalangan para ulama dan ahli hukum Islam di Indonesia. Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan definisi dengan , “Koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. 

Pengertian hukum Islam dalam definisi ini sama dengan atau sekurang-kurangnya mendekati pada makna fiqh.

Dengan demikian, hukum Islam menurut beberapa pengertian di atas, mencakup hukum syariat dan hukum fiqh. Dengan kata lain, hukum Islam lebih luas meliputi syariat dan fiqh. 

Akan tetapi, jika istilah hukum Islam merupakan adopsi dari istilah Islamic law, hukum Islam istilah yang sangat berbeda dengan syariat dan fiqh. Sebab dalam Islam, baik syariat, fiqh, maupun hukum Islam merupakan bagian dari ajaran Islam.

Sekalipun demikian, perbedaan definisi hukum Islam yang telah dikemukakan oleh kedua ahli hukum tersebut di atas, hanya terletak pada cakupan yang dlingkupinya.

Pendapat pertama, hukum Islam dimaksudnya pada makna syariat dan kadang dapat juga digunakan untuk makna fiqh. Sedangkan dalam pendapat kedua, membatasi pengertian hukum Islam hanya pada makna fiqh. 

Jadi, perbedaan itu bukan subtansinya, apalagi ketika dikaitkan dengan kemungkinan dapat tidaknya hukum Islam itu berubah dan diubah.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah ada yang mengatakan bahwa hukum Islam itu tidak berubah dan tetap, maksud kata “hukum Islam” di sini adalah syariat atau hukum syara’, yaitu ajaran Allah yang kebenarannya bersifat mutlak yang telah lengkap serta sempurna. 

Jika dikatakan bahwa hukum Islam itu berubah dan dapat dikontekstualisasikan sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman, itu merupakan hukum Islam bermakna fiqh, sebagai hasil ijtihad dan interpretasi manusia (mujtahid) terhadap syariat.

Keabadian hukum Islam yang yang bermakna syariat dapat dipahami dari ayat AlQur’an terakhir yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW pada masa haji wada’

(perpisahan), yaitu sebagai berikut:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 3)

Kesempurnaan dan kelengkapan yang mendapat restu ilahi itu termasuk hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisah dari agama secara keseluruhan. 

Dalam AlQur’an, kata “syariat” senantiasa dihubungkan dengan Allah sehingga ulama ushul fiqh memahami konsep syariat sebagai teks-teks kalamullah yang bersifat syar’i, yakni sebagai an-Nashush al-muqaddasah yang tertuang dalam bacaan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang sifatnya tetap atau tidak mengalami perubahan. 

Dalam al-Qur’an pun terdapat kata “syariat” yang sepadan dengan kata ad-din (agama) sebagaimana dalam firman Allah berikut:

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَۙ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,” (Q.S. Al-Maidah [5]: 48).

Pada ayat di atas, kata “syariat” artinya aturan atau hukum. Oleh karena itu, ayat di atas berhubungan (munasabah ayat) dengan ayat sebelumnya, yakni dalam Al-Maidah ayat 45 berikut:

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَآ اَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْاَنْفَ بِالْاَنْفِ وَالْاُذُنَ بِالْاُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّۙ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌۗ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهٖ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهٗ ۗوَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hakkisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orangorang yang zalim.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 45)

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum Islam bermakna syariat yang di dalamnya terdapat berbagai aturan yang diperuntukkan bagi manusia. 

Hukum atau syariat berkaitan dengan kehidupan ritual atau sosial. Al-Maududi (1990), mengatakan bahwa syariat sebagai ketetapan Allah dan RasulNya yang berisi ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat global, kekal, dan universal, yang diberlakukan bagi semua hambaNya berkaitan dengan masalah akidah, ibadah, dan muamalat.

Dalam surat Al-Jaatsiyah, Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga berfirman:

ثُمَّ جَعَلْنٰكَ عَلٰى شَرِيْعَةٍ مِّنَ الْاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Q.S Al-Jaatsiyah [45]: 18)

Ayat tersebut di atas, memaparkan pengertian syariat yang identik dengan seluruh ajaran Islam. Semua diseru untuk mengikuti syariat-syariatNya dan melarang mengikuti hukum di luar syariat yang disebut dengan “hawa nafsu”. Syariat merupaka konsep subtansial dari seluruh ajaran Islam.

Dengan demikian, berdasarkan uraian penjelaskan tentang hakikat hukum Islam di atas, dapat dipahami bahwa hakikat ilmu hukum Islam dalam perspektif Islam adalah 

Ilmu pengetahuan yang mengkaji syariat atau sering disamakan dengan istilah fiqh sebagai ilmu yang memahami tentang hukum-hukum syara’ (Al-Qur’an dan As-Sunnah) 

Yang berisi ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat amaliah atau praktis yang digali dari dalildalil yang terperinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari kedua sumber tersebut.

Keutamaan Mempelajari Ilmu Hukum Islam

Pada pembahasan sebelumnya, diuraikan bahwa Allah telah menetapkan hukum dari segala sesuatu dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. 

Para ahli ushul fiqih kemudian menggali hukum-hukum syara’ yang dalam pengambilan hukumnya menggunakan perenungan (ta’ammul) yang mendalam, pemahaman dan ijtihad, sehingga ilmu hukum

Islam (fiqh Islam) menjadi term yang digunakan untuk sekelompok hukum yang bersifat amaliah.

Beberapa hal keutamaan mempelajari ilmu hukum Islam (fiqh Islam) adalah hal-hal berikut ini:

Tafaquh fid-dien (memperdalam pemahaman agama) adalah perintah dan hukumnya wajib

Dengan mempelajari ilmu hukum Islam, seseorang akan menjadi orang yang berilmu karena mengetahui hukum-hukum agama. 

Kalau kita telah menjadi orang yang berilmu, maka kita akan memiliki banyak kelebihan dan keutamaan diatas orang-orang yang tidak berilmu. 

Dalam hal ini Allah berfirman:

مَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّؤْتِيَهُ اللّٰهُ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُوْلَ لِلنَّاسِ كُوْنُوْا عِبَادًا لِّيْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ ۙ

“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembahpenyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah),karena kamu selalu mengajarkan Al-kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Q.S. Ali Imran [3]: 79)

 وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Q.S. At-Taubah [9]: 122)

Dalam suatu riwayat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam agama.” (Muttafaq ‘alaihi).

Paham terhadap ilmu fiqih adalah nikmat yang agung dan tanda bertambahnya kebaikan.

 وَاَنْزَلَ اللّٰهُ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُۗ وَكَانَ فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكَ عَظِيْمًا

“Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu sangat besar.” (Q.S. An-Nisaa’ [4]: 113)

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.” (Mutafaqqun ‘Alaih)

Ilmu hukum Islam adalah penjaga Al-Qur’an dan Sunnah dari penyimpangan/kesesatan.

Ilmu syariah telah berhasil menjelaskan dengan pasti dan tepat tiap potong ayat dan hadits yang bertebaran. 

Dengan menguasai ilmu syariah, maka Quran dan Sunnah bisa dipahami dengan benar sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam mengajarkannya. 

Sebaliknya, tanpa penguasaan ilmu syariah, Al-Quran dan Sunnah bisa diselewengkan dan dimanfaatkan dengan cara yang tidak benar.

تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبدا ما إن تمسكتم بهما كتا ب الله و سنة رسوله

“Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang dengan keduanya, tidak akan tersesat : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”. (HR.Muslim)

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang beramal dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak.” (Mutafaqqun ‘Alaih)

Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah, sebagaimana orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia menjadikannya faham dalam masalah agama. 

Dan barangsiapa yang diberikan pemahaman dalam agama, maka Allah telah menghendaki kebaikan untuknya.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan pemahaman (fiqh) adalah ilmu yang mengharuskan adanya amal.

Ahlu fiqih dan orang yang mempelajarinya adalah orang yang memiliki derajat yang tinggi.

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan ” (Q.S. Al Mujadilah [58]: 11)

Orang yang paham ilmu syari’at adalah orang yang dekat kepada taufiq dan hidayah Allah

وَيَرَى الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ هُوَ الْحَقَّۙ وَيَهْدِيْٓ اِلٰى صِرَاطِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ

“Dan orang-orang yang diberikan ilmu memandang bahwa apa yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Rabbmu adalah kebenaran dan akan membimbing kepada jalan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Saba’ [34]: 6)

وَتِلْكَ الْاَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِۚ وَمَا يَعْقِلُهَآ اِلَّا الْعٰلِمُوْنَ

“Demikianlah permisalan-permisalan yang dibuat oleh Allah bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Q.S. Al-’Ankabuut [29]: 43)

Tidak Paham Syariah dan khsususnya fiqih akan menimbulkan Perpecahan dan menghilangkan kekuatan umat

Para ulama terbiasa berbeda pendapat, karena berbeda hasil ijtihad sudah menjadi keniscayaan. Namun karena ilmu yang mereka miliki membuat mereka tidak saling mencaci, menjelekkan atau menafikan.

Sebaliknya, semakin awam seseorang terhadap ilmu syariah, biasanya akan semakin tidak punya mental untuk berbeda pendapat. 

Sedikit perbedaan di kalangan mereka sudah memungkinkan untuk terjadinya perpecahan, pertikaian, bahkan saling menjelekkan satu sama lain.

وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَۚ

“Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Anfaal [8] :46)

Kehancuran umat dan datangnya kiamat Ditandai Dari Hilangnya Ilmu Syariah

Islam tidak akan hilang dari muka bumi, sebab janji Allah Subhanahu Wa Ta'ala terhadap umat ini sudah pasti. Namun umatnya bisa lemah dan runtuh. 

Kelemahan itu umumnya terjadi manakala ilmu syariah sudah mulai ditinggalkan. Dan para ulama ulama diwafatkan dan tidak ada lagi ahli syariah yang dilahirkan. 

Sehingga tidak ada lagi orang yang bisa mengarahkan jalannya umat ini. Hal ini dikarenakan syariah adalah benteng umat.

Manakala Allah Subhanahu Wa Ta'ala ingin melemahkan umat ini, maka syariah Islam akan dikurangi. Sebaliknya, bila Allah Subhanahu Wa Ta'ala ingin menguatkan umat ini, maka akan dimulai dengan lahirnya para ulama yang akan mengusung syariah di muka bumi.

Hal ini sebagaimana hadits berikut:

 مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا

“Diantara tanda-tanda terjadinya hari kiamat yaitu: diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela, banyaknya orang yang meminum minuman keras, dan zina dilakukan dengan terang-terangan.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 

ضيعت فإذا الساعة فانتظر اْلمانة . فقال : إضاعتها كيف ؟ قال : غير إلى الامر وسد إذا فانتظر الساعة أهله

"Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; 'bagaimana maksud amanat disia-siakan? ' Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Bukhari)

Tipu Daya Orientalis dan Sekuleris Sangat Efektif Bila Lemah di Bidang Syariah

Racun pemikiran Orientalis dan Sekuleris tidak akan mempan bila tubuh umat diimunisasi dengan pemahaman syariah Setiap individu muslim pada dasarnya bisa dengan mudah terserang tusukan tajam para orientalis ini. 

Maka dengan menguasai ilmuilmu syariah, diharapkan bisa menjadi penangkal semua racun yang merusak dan mematikan.

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ اِلَّا تَفْعَلُوْهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الْاَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌۗ

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfaal [8]: 73)

Ilmu Hukum Islam Adalah Ilmu Yang Siap Pakai

Berbeda dengan belajar tafsir, hadits, shirah dan ilmu-ilmu lainnya, di dalam ilmu hukum Islam kita dikenalkan dengan cara mengambil kesimpulan hukum dari beragam dalil yang tersedia. 

Ada sekian banyak dalil yang terserak di berbagai literatur. Sehingga tidak mudah bagi seseorang untuk mengumpulkannya menjadi satu. 

Belum bila dilihat sekilas, mungkin saja masing-masing dalil baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah berbeda bahkan bertentangan satu sama lain.

Di sinilah keutamaan ilmu hukum Islam, yaitu merangkum sekian banyak dalil, menelusuri keshahihannya dan mengupas istidlalnya serta memadukan antara satu dalil dengan lainnya menjadi sebuah kesimpulan hukum. 

Lalu hukum-hukum itu disusun secara rapi dalam tiap bab yang memudahkan seseorang untuk melacaknya. Dan biasanya yang baik adalah dengan mencantumkan juga dalil serta bagaimana istinbat hukumnya. 

Dan lebih penting dari semua itu, apa yang dipersembahkan ilmu hukum Islam ibarat daftar perintah dan aturan Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang sudah rinci nilainya, apakah menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.

Teori-teori Kebenaran Ilmu Hukum Islam dalam Al-Qur’an

Secara konseptual terdapat prinsip-prinsip syariat Islam yang mencakup penataan dan penerapan hukum Islam bagi orang Islam. Bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada orang yang beriman agar menjalankan hukumNya.

Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah dengan melalui prosedur baku berupa tahap-tahapan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang berupa metodologi ilmiah yang sesuai dengan sifat dasar ilmu. 

Ada beberapa teori kebenaran yang dipakai untuk melihat kebenaran dalam ilmu hukum Islam, yaitu pragmatis, korespondensi, koherensi dan kebenaran wahyu. 

Kebenaran pragmatis adalah sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila memiliki kegunaan/manfaat praktis dan bersifat fungsional dalam kehidupan sehari-hari. 

Kebenaran koresponden adalah sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila materi pengetahuan yang terkandung didalamnya berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Kebenaran korespondensi adalah kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan. 

Kebenaran Koheren: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila konsisten dan memiliki koherensi dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar tanpa melihat kepada fakta atau realita.

1. Kebenaran pragmatis. 

Dalam al-Qur’an terdapat beberapa contoh, antara lain: Khamar itu ada manfaatnya meskipun lebih banyak mudarratnya sebagaimana firman Allah:

 يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَاۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 219)

2. Kebenaran koresponden. 

Salah satu contoh kebenaran korespondensi dalam al-Qur’an adalah pernyataan tentang pertemuan antara air asin dan air tawar tanpa bercampur baur. 

Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an sebagai berikut:

 وَهُوَ الَّذِيْ مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ هٰذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ وَّهٰذَا مِلْحٌ اُجَاجٌۚ وَجَعَلَ بَيْنَهُمَا بَرْزَخًا وَّحِجْرًا مَّحْجُوْرًا

“Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.” (Q.S. Al-Furqaan [25]: 53)

3. Kebenaran koheren.

Salah satu contoh dalam al-Qur’an adalah pernyataan tentang zina: 

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Israa’ [17]: 32)

Pernyataan tersebut sejalan dengan pernyataan-pernyataan al-Qur’an yang lain seperti: 

وَالَّذِيْنَ لَا يَدْعُوْنَ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَ وَلَا يَقْتُلُوْنَ النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُوْنَۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ يَلْقَ اَثَامًا ۙ

“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” (Q.S. Al-Furqaan [25]: 68)

Dan pernyataan yang melarang kepada fawahisy (perbuatan buruk):

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ

“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (Q.S. Al-An’am [6]: 151)

Ketiga teori ini mempunyai perbedaan paradigma. Teori koherensi mendasarkan diri pada kebenaran rasio, teori korespondensi pada kebenaran factual dan teori fragmatis mefungsional pada fungsi dan kegunaan kebenaran itu sendiri. 

Tetapi ketiganya memiliki persamaan, yaitu pertama, seluruh teori melibatkan logika, baik logika formal maupun material (deduktif dan induktif), kedua melibatkan bahasa untuk menguji kebenaran itu, dan ketiga menggunakan pengalaman untuk mengetahui kebenaran itu.

4. Kebenaran wahyu. 

Kebenaran wahyu adalah pengetahuan yang bersumber dari Tuhan melalui hambanya yang terpilih untuk menyampaikannya (Nabi dan Rasul). 

Melalui wahyu atau agama, manusia diajarkan tentang sejumlah pengetahuan baik yang terjangkau ataupun tidak terjangkau oleh manusia. 

Salah satu contoh kebenaran wahyu adalah tentang berlipat ganda balasan bagi orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah berikut:

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Q.S. AL-Baqarah [2]: 261)

Ayat -Ayat Al-Qur’an dan Hadist Yang Relevan Dengan Penerapan Hukum

Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup secara umum mengandung 3 doktrin: Akidah, akhlak, dan hukum-hukum amaliyah. 

Hukum-hukum amaliyah dalam al-Quran terdiri dari dua cabang: Hukum ibadah dan muamalah. Abdul Wahab Khallaf memerinci macam hukum bidang muamalah dan jumlah ayatnya. 

Hukum keluarga, mulai dari pernikahan, talak, rujuk, ‘iddah, hingga masalah warisan, seluruhnya ada 70 ayat. 

Hukum perdata ada sekitar 70 ayat, Hukum jinayat (pidana) ada 30 ayat, Hukum murafa’at (acara atau peradilan) ada 13 ayat, Hukum ketatanegaraan ada 10 ayat, Hukum antara bangsa (internasional) ada 25 ayat, Hukum ekonomi dan keuangan ada sekitar 10 ayat.

Selanjutnya, ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, Zahrah (2005) menjelaskan sebagai berikut:

1. Ibadah, dalam Al-Qur’an dikemukakan secara mujmal (global) tanpa merinci kaifiyatnya, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. 

Untuk menjelaskan tatacaranya dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam dengan sunnahnya.

2. Kaffarat, yaitu semacam denda yang bermakna ibadah, karena merupakan penghapus bagi sebagian dosa. Ada 3 bentuk kaffarat, yaitu: 

Kaffarat zihar (seperti ungkapan suami kepada istrinya “kau bagiku bagaikan punggung ibuku”). Istri yang sudah di zihar tidak boleh digauli oleh suaminya kecuali setelah membayar kaffarat (Q.S. Al-Mujadilah [58]: 3-4).

3. Kaffarat sumpah (Q.S. Al-Maidah [5]: 89).

4. Kaffarat qatl al-khata` (membunuh mukmin secara tersalah) ada dalam (Q.S. AnNisaa` [4]: 92).

5. Hukum mu’amalat. Al-Qur’an hanya memberikan prinsip-prinsip dasar, sunnah berperan merincinya, dan ijtihad para ulama berperan dalam mengembangkan perinciannya. 

Seperti larangan memakan harta orang lain secara tidak sah, Q.S. AnNisaa` [4]: 29, dan larangan memakan riba, Q.S. Al-Baqarah [2]: 275.

6. Hukum Keluarga, Al-Qur’an berbicara agak rinci, misalnya penjelasan wanita-wanita yang haram dinikahi (QS. An-Nisaa`: 23).

7. Masalah thalaq (Q.S. Ath-Thalaaq [65]: 1), rujuk (Q.S. Al-Baqarah [2]: 228), ‘iddah karena meninggal suami (Q.S. Al-Baqarah [2]: 234) dan ‘iddah karena terjadinya perceraian (Q.S. Al-Baqarah [2]: 228).

8. Hukum pidana. Al-Qur’an melarang tindak kejahatan secara umum. Seperti larangan pembunuhan (Q.S. Al-An’am [6]: 151), larangan minum khamar (Q.S. Al-Maidah [5]: 90) 

Dan rincian hukumannya dijelaskan oleh sunnah dengan cambuk 40 kali sesuai hadis, larangan berzina (Q.S. An-Nuur [24]: 2), hukuman bagi pencuri (Q.S. Al-Maidah [5]: 38), hukuman pelaku qazaf atau menuduh orang lain berzina tanpa saksi (Q.S. An-Nuur [24]: 4).

9. Hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyat (Q.S. An-Nahl [16]: 90 dan Q.S. Ali ‘Imran [3]: 159).

10. Hukum yang mengatur hubungan muslin dan non-muslim (Q.S. Al-Hujuraat [49]: 13 dan Q.S. al-Baqarah [2]: 194).

Kesimpulan

1. Hakikat hukum Islam adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji syariat atau sering disamakan dengan istilah fiqh sebagai ilmu yang memahami tentang hukum-hukum syara’ (Al-Qur’an dan As-Sunnah) 

Yang berisi ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat amaliah atau praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari kedua sumber tersebut.

2. Beberapa hal keutamaan mempelajari ilmu hukum Islam (fiqh Islam) adalah 

  1. Tafaquh fid-dien; 
  2. Paham terhadapat ilmu fiqih adalah nikmat yang agung dan tanda bertambahnya kebaikan; 
  3. Ilmu hukum Islam adalah penjaga Al-Qur’an dan Sunnah dari penyimpangan/kesesatan; 
  4. Ahlu fiqih dan orang yang mempelajarinya adalah orang yang memiliki derajat yang tinggi; 
  5. Tidak paham syariah dan khsususnya fiqih akan menimbulkan perpecahan dan menghilangkan kekuatan umat; 
  6. Kehancuran umat dan datangnya kiamat ditandai dari hilangnya ilmu syariah;
  7. Tipu daya orientalis dan sekuleris sangat efektif bila lemah di bidang syariah; dan 
  8. Ilmu hukum Islam adalah ilmu yang siap pakai.

3. Teori kebenaran yang dipakai untuk melihat kebenaran dalam ilmu hukum Islam, yaitu pragmatis, korespondensi, koherensi dan kebenaran wahyu.

4. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, meliputi: 

  1. Ibadah, seperti: shalat, puasa, zakat dan haji; 
  2. Kaffarat, seperti: kaffarat zihar, kaffarat sumpah, dan kaffarat qatl alkhata`; 
  3. Hukum mu’amalat, seperti: larangan memakan harta orang lain secara tidak sah dan larangan memakan riba; 
  4. Hukum Keluarga, seperti: penjelasan wanitawanita yang haram dinikahi, masalah thalaq, rujuk, dan ‘iddah; 
  5. Hukum pidana, seperti: larangan pembunuhan, larangan minum khamar, larangan berzina, hukuman bagi pencuri, hukuman pelaku qazaf atau menuduh orang lain berzina tanpa saksi; 
  6. Hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyat; dan 
  7. Hukum yang mengatur hubungan muslin dan non-muslim.

0 Response to "Paradigma Islam Tentang Ilmu Hukum"

Post a Comment

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar dengan Bijak