Gratifikasi Menurut Pandangan Agama
Bagaimana gratifikasi dari sudut pandang agama, apakah diperbolehkan dan bagaimana perlakuannya?
1. Dalam Pandangan Agama Islam
Saling memberi hadiah pada hakikatnya adalah dianjurkan sepanjang dalam konteks sosial, tradisi, kekeluargaan, dan agama.
Namun demikian, pemberian hadiah terkait dengan jabatan/pelaksanaan tugas secara tegas dilarang sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Humaid As Sa'idiy bahwa
“Hadiah bagi pejabat (pekerja) adalah ghulul (khianat)”.
Dikatakan sebagai khianat karena hadiah seperti ini termasuk pengkhianatan, sebagaimana fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah bahwa :
Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu jika seseorang sebagai pegawai pemerintahan, dia diberi hadiah oleh seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Hadiah semacam ini termasuk pengkhianatan (ghulul). Hadiah seperti ini tidak boleh diambil sedikit pun oleh pekerja tadi walaupun dia menganggapnya baik.” dan dalam fatwanya:
Tidak boleh bagi seorang pegawai di wilayah pemerintahan menerima hadiah berkaitan dengan pekerjaannya.
Seandainya kita membolehkan hal ini, maka akan terbukalah pintu riswah (suap/sogok). Uang sogok amatlah berbahaya dan termasuk dosa besar.
Oleh karena itu, wajib bagi setiap pegawai jika dia diberi hadiah yang berkaitan dengan pekerjaannya, maka hendaklah dia mengembalikan hadiah tersebut.
Hadiah semacam ini tidak boleh dia terima. Baik dinamakan hadiah, shodaqoh, dan zakat, tetap tidak boleh diterima.
Lebih-lebih lagi jika dia adalah orang yang mampu, zakat tidak boleh bagi dirinya sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama.”
Uang terima kasih yang diberikan saat pelaksanaan tugas juga merupakan suatu hal yang dilarang.
“...Sesungguhnya aku mengangkat seseorang dari kamu untuk suatu tugas yang Allah kuasakan kepadaku, lalu orang itu datang mengatakan, ini hartamu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku. Mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya sampai datang hadiah untuknya? Demi Allah janganlah seseorang dari kamu mengambil sesuatu yang bukan haknya kecuali ia mau kelak bertemu dengan Allah dengan membawa harta yang diambilnya itu...” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dalam Nahjul Balagha of Nazrat Ali diceritakan bahwa Ali bin Abi Thalib menolak pemberian hadiah berupa kuda-kuda Persia dengan berkata “Anda telah membayar pajak Anda, sehingga menerima sesuatu dari Anda walaupun Anda menawarkannya dengan sukarela dan tulus hati adalah kejahatan terhadap Negara”.
Di dalam Al-Qur'an dijelaskan:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 188).
2. Dalam Pandangan Agama Nasrani
Pemberian hadiah kepada pelayan publik tidak selalu berarti suap, namun bukan tanpa pamrih. Sebagaimana disebut bahwa “Hadiah suapan adalah seperti mestika di mata yang memberinya, ke mana juga ia memalingkan muka, ia beruntung.” (Amsal 17:8) dan “Hadiah memberi keluasan kepada orang, membawa dia menghadap orang-orang besar.” (Amsal 18:16).
Pembesar senang menerima hadiah dan orang yang tahu memberi hadiah yang disukai pejabat pasti sedang menanam budi. Jika pemberian terjadi sebelum si pemberi memiliki masalah, pemberian itu berfungsi seperti ijon.
"Janganlah memutarbalikkan keadilan, janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar" (Ulangan 16:19). "Suap dapat memutarbalikkan perkara orang benar dan keadilan" (Keluaran 23:8), Suap janganlah kau terima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar.
3. Dalam Pandangan Agama Hindu
Korupsi secara umum telah disabdakan dalam Atharvaveda XII.1.1:"Kebenaran/kejujuran yang agung, hukum-hukum alam yang tidak bisa diubah, pengabdian diri (pengekangan diri) pengetahuan dan persembahan (yadnya) yang menopang bumi, Bumi senantiasa melindungi kita, semoga di (bumi) menyediakan ruangan yang luas untuk kita."
0 Response to "Gratifikasi Menurut Pandangan Agama"
Post a Comment
Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar dengan Bijak