APA YANG SALAH DARI KITAB DALAILUL KHAIRAT

APA YANG SALAH DARI KITAB DALAILUL KHAIRAT

Oleh :Asy-Syaikh Muhammad bin Jami Zainu rahimahullah

Sesungguhnya kitab ‘Dalailul Khairat’ yang dikarang oleh Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuliy tersebar di seantero negeri-negeri Islam, terutama di dalam masjid-masjidnya. 

Kaum muslimin sering membacanya, bahkan terkadang mereka lebih mendahulukan membaca kitab ini daripada membaca Al-Qur’an.Terutama di hari Jum’at. 

Percetakan-percetakan buku juga turut berlomba-lomba mencetak kitab ini demi meraup keuntungan materi dan duniawi tanpa mempertimbangkan kerugian yang didapat oleh pencetak dan pembaca di akhirat kelak.

Dan cetakan yang ada di hadapan saya ini tertulis pada sampulnya ‘Al-Haramain Lith Thiba’ah Wan Nasyr Wat Tauzi’ Singhafurah-Jaddata’.

Kalau saja seorang muslim yang cerdas yang teliti terhadap hukum-hukum agamanya mau mencermati kitab ini tentulah ia akan menemukan banyak sekali penyimpangan-penyimpangan besar terhadap syariat padanya. Dan penyimpangan-penyimpangan yang terpentingnya antara lain:

1. Pengarang menulis dalam muqaddimahnya (hal. 2):

“Dengan memohon bantuan dengan kemuliaannya yang tinggi”. Yang dia maksud adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam  Saya katakan: ucapan ini menyelisihi Al-Qur’an Al-Karim yang tidak
membolehkan meminta bantuan kecuali hanya kepada Allah. 

Allah Ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang muhkam;

“Ya”(cukup). Jika kamu bersabar dan bertakwa ketika mereka datang menyerang kamu dengan tiba-tiba, niscaya Allah menolongmu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda”. (Qs. Ali Imran: 125).

Dan juga menyelisihi sabda Nabi shallallahu a'laihi wasallam ;

“Jika kamu hendak meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika kamu hendak meminta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah”. HR. Tirmidzi.

2. Kemudian pengarang menulis pada pembahasan ‘Hizib Nashor Li Abil Hasan Asy-Syadzili’. Dan itu tertulis di catatan kakinya;

“Wahai Dia, wahai Dia, wahai Dia, wahai Dzat Yang dengan karunia-Nya kami memohon kepada-Mu wahai Rabbku (pengkabulan) segera”

Saya katakan: sesungguhnya kata هو / Dia, itu tidak termasuk ke dalam nama-nama Allah yang Husna, bahkan itu merupakan kata ganti (dhamir) yang kembali kepada kata sebelumnya. Oleh karena itu, tidak bisa kemasukan huruf Nida padanya, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum shufiyah.

Bahkan ini termasuk kebid’ahan mereka dalam menambahi nama-nama Allah yang bukan termasuk darinya.

3. Kemudian pengarang menyebutkan nama-nama nabi serta mengurutkannya. 

Pengarang menyifati nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dengan nama-nama dan sifat-sifat yang tidak pantas kecuali hanya bagi Allah ta’ala semata.

Perlu diketahui bahwasannya nama-nama Nabi Shallallahu a'laihi wasallam itu sebagaimana yang tersebut dalam sebuah hadits;

“Sesungguhnya saya memiliki beberapa nama; saya adalah Muhammad. Saya adalah Ahmad. Saya adalah Al-Mahi, yang Allah ta’ala menghapus kekufuran melalui diriku. Saya adalah Al-Hasyir, yang seluruh manusia dikumpulkan di bawah telapak kakiku. Saya adalah Al-Aqib, yang tidak ada lagi nabi sepeninggalku”. (HR. Muslim)

Allah ta’ala juga menyifati beliau dengan Rouf (welas asih) dan Rahim (penyayang). [Lihat Qs. At-Taubah ayat 128]

Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu’anhu menceritakan bahwasannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah menyebutkan nama-nama beliau kepada kami, beliau bersabda;

“Saya adalah Muhammad, Ahmad, Al-Muqaffi, Al-Hasyir, Nabiyyut Taubah, dan Nabiyyurahmah”. (HR. Muslim).

4. Nama-nama Nabi yang disebutkan oleh pengarang kitab Dalailul Khairat (Al-Jazuli) dimulai dari halaman 37-47 di antaranya adalah ;

a. Muhyi; yang menghidupkan.

b. Munjiin; yang menyelematkan.

c. Nashir; Ghauts, Ghiyats; pemberi pertolongan.

d. Shahibul Faraj; yang mengangkat kesusahan.

e. Kasyiful Kurab; yang memecahkan kesulitan.

f. Syafi; yang memberi kesembuhan.

Saya katakan: nama-nama dan sifat-sifat ini tidak pantas kecuali hanya bagi Allah ta’ala semata. Maka Al-Muhyi, Al-Munji, An-Nashir, Al-Mughits, Shahibul Faraj, Kasyiful Kurab, dan Asy-Syafi itu adalah Allah subhanahu wata’ala. 

Al-Qur’an telah menunjukkan hal tersebut sebagaimana dalam ayat yang mengisahkan Nabi Ibrahim;

“(Yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat”. (Qs. Asy-Syu’araa 78-81)

Allah ta’ala memerintahkan rasul-Nya supaya mengatakan kepada manusia;

“Katakanlah (hai Rasul), “Aku tidak kuasa menolak mudarat maupun mendatangkan kebaikan kepadamu.” (Qs. Al-Jin: 21).

Dan firman-Nya;

“Katakanlah (hai rasul), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Tunggal” (Qs. Al-Kahfi: 110).

Saya juga katakan: pengarang kitab Dalailul Khairat menyelisihi Al-Qur’an.

Karena ia telah menyetarakan antara Allah dengan rasul-Nya dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan ini merupakan hal yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berlepas diri darinya. 

Seandainya beliau mendengar hal ini, tentulah beliau akan menghukumi pelakunya telah melakukan syirik besar.

Datang seseorang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata kepada beliau,

“Sesuai kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka beliau menjawab;

“Apakah kamu hendak menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah ?

Katakanlah, “Sesuai kehendak Allah semata!”. HR. Nasai dengan sanad yang hasan. Tandingan ( الند ) maknanya adalah sekutu.

Beliau juga bersabda;

“Janganlah kalian berlebihan di dalam memujiku sebagaimana berlebihannya orang-orang nasrani di dalam memuji putra Maryam (Nabi Isa). Sungguh saya hanyalah hamba, maka katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya”. (HR. Bukhari).

Al-Ithraa ( الإطراء ) maknanya adalah berlebihan dan menambah-nambahi di dalam memuji. Adapun memuji beliau dengan yang disebut di dalam Al-Qur’an dan hadits maka itu boleh.

5. Kemudian pengarang kitab (Al-Jazuli) menyebutkan sebagian nama/gelar untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yaitu;

- Muhaimin  artinya: yang memelihara, mengawasi, dan berkuasa.

- Jabbar artinya: yang perkasa. 

- Ruhul Qudus artinya: Roh suci. 

Sedang, Al-Qur’an menafikan dari Rasul  Shallallahu 'alaihi wasallam sifat-sifat ini. Allah ta’ala berfirman;

“Engkau bukanlah yang berkuasa atas mereka”. (Qs. Al-Ghasyiyah: 22)

“Engkau bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka”. (Qs. Qaaf: 45)

Adapun Ruhul Qudus itu adalah malaikat Jibril berdasarkan firman-Nya;

“Katakanlah (hai Rasul), “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan kebenaran”. (Qs. An-Nahl 102)

6. Kemudian pengarang kitab menyebutkan sifat-sifat (Nabi) yang itu (sebenarnya) tidak pantas disandang oleh seorang muslim, lebih-lebih lagi

oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang beliau ini merupakan seutama-utama manusia. Ia menyebut Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai Jurtsumah.

Di awal kitab pengarang kitab mengangkat derajat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sampai pada derajat uluhiyah, ia menyifati Nabi Shallallahu a'laihi wasallam dengan: Muhyi, Nashir, Syafi, Munji dan seterusnya sebagaimana telah lewat penyebutannya. Sementara di sini kemudian menurunkannya hingga pada derajat Jutsumah. Tentu ini hal yang membuat badan dan jiwa bergetar dan merinding.

Jurtsumah itu dikenal oleh manusia artinya adalah bakteri/virus berbahaya yang menginfeksi. Seperti ‘Jurtsumatus Sall’ (virus TBC).

Sungguh mustahil sifat tersebut ada pada diri Nabi Shallallahu a'laihi wasallam, karena beliau merupakan figur yang bermanfaat bagi ummatnya, menyampaikan risalah, mengentaskan manusia dengan ajaran-ajarannya dari kezhaliman, kesyirikan, dan perpecahan menuju keadilan dan tauhid.

Dan jika ia memaksudkan makna Jurtsumah sebagai pokok atau pangkal segala sesuatu maka itu juga tidak benar.

7. Kemudian setelah ucapan-ucapan bathil ini, Al-Jazuli kembali menyifati Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam dengan sifat-sifat yang dusta serta terdapat padanya unsur kesyirikan yang bisa menyebabkan gugurnya amalan. Seperti ucapannya pada halaman 90;

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada beliau yang bunga-bunga itu mekar karena mendapat sinarnya, dan pepohonan menghijau karena bekas air wudhunya”.

Ini kedustaan. Karena Allah-lah yang menciptakan pepohonan, menjadikan bunganya mekar, dan membuatnya hijau.

8. Kemudian pada halaman 100 Al-Jazuli mengatakan tentang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ;

" Dialah sebab yang karenanya ada segala sesuatu”.

Jika dia memaksudkan alam semesta diciptakan karena sebab Muhammad Shallallahu a'laihi wasallam maka ini adalah kedustaan. Karena Allah ta’ala berfirman;

“Dan aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. (Qs. Adz-Dzariyat: 56).

9. Kemudian Al-Jazuli berkata pada halaman 198;

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad selama burung dara berkukur, selama induk binatang melindungi anaknya, selama hewan-hewan ternak masih merumput, dan selama jimat-jimat memberi manfaat”.

Ucapan ini bertentangan dengan sabda Nabi Shallallahu a'laihi wasallam yang melarang dari jimat-jimat. Beliau bersabda;

“Barangsiapa menggantungkan jimat maka dia telah berbuat kesyirikan”. [Shahih, HR. Ahmad]

Tamimah adalah manik-manik atau kerang yang digantungkan pada anak, mobil, atau rumah dalam rangka untuk menangkal pengaruh Ain. Dan ini termasuk kesyirikan.

Ucapan pengarang kitab ini bertentangan dengan Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa yang mampu berkuasa memberi manfaat dan menolak mudarat hanyalah Allah ta’ala semata. Allah ta’ala berfirman;

“Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu”. (Qs. Al-An’am: 17)

10. Kemudian Al-Jazuli mengatakan;

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sehingga tidak tersisa dari shalawat sedikitpun. Ya Allah, rahmatilah Muhammad dan keluarga Muhammad sehingga tidak tersisa dari rahmat sedikitpun. Ya Allah, berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sehingga tidak tersisa dari berkah sedikitpun. Ya Allah, curahkanlah salam sejahtera kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sehingga tidak tersisa dari salam sedikitpun”.

Saya katakan: ucapan ini bertentangan dengan Al-Qur’an. Karena shalawatnya Allah, rahmat-Nya, dan berkah-Nya akan selalu ada tidak akan habis tidak pula sirna.

Allah ta’ala berfirman;

“Katakanlah (Hai Rasul), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Qs. Al-Kahfi: 109).

11. Kemudian Al-Jazuli menyebutkan di akhir kitab (hal. 259-260) shalawat masyisyiyah yang berbunyi; tertulis di hamisy.

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada beliau yang darinya menjadi tersingkap setiap rahasia, menjadi terbit setiap cahaya, dan padanya menjadi naik setiap hakikat...

Tidak ada sesuatupun kecuali ia bergantung kepadanya. Bila tanpa wasithahnya niscaya hilang segala yang ada dan terjadi dikarenakan keberadaannya”

Saya katakan: ini ucapan yang bathil di awalnya, dan konyol serta ruwet di akhirnya.

Kemudian Al-Jazuli menyebutkan kelanjutan doa ini;

“Lemparkan aku dalam samudra pengesaan, angkatlah aku dari lumpur tauhid, tenggelamkanlah aku dalam lautan keesaan hingga aku tak dapat melihat, tidak mendengar, dan tidak merasakan apapun kecuali dengannya”.

Saya katakan: perhatikan ucapan ini wahai sadaraku, bahwa di dalam doa ini terdapat dua perkara (sangat munkar);

Pertama: ucapannya “Angkatlah aku dari lumpur tauhid”. 

Lumpur ( أوحال ) adalah sesuatu yang kotor. Apakah tauhid merupakan sesuatu yang kotor ?! Bahkan mentauhidkan Allah di dalam ibadah dan doa itu bersih; tidak terdapat padanya lumpur dan kotoran seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Masyisy. Yang terdapat padanya lumpur dan kotoran adalah berdoa kepada selain Allah, baik kepada para nabi maupun kepada para wali. Karena termasuk syirik besar yang menggugurkan seluruh amalan dan menyebabkan kekekalan di dalam neraka.

Kedua: ucapannya, “Lemparkan aku dalam samudra pengesaan, tenggelamkanlah aku dalam lautan keesaan”.

Saya katakan: ini adalah keyakinan wihdatul wujud menurut sebagian kaum shufi, yang diungkapkan penggambarannya oleh Ibnu ‘Arabi yang dimakamkan di Damaskus, Ia berkata sebagaimana dalam Al-Futuhat Al-Makkiyah;

“Hamba adalah rabb (tuhan) dan Rabb adalah hamba, Aduhai bagaimana ini, siapa yang mukallaf (dibebani syariat) ?

Jika aku katakan hamba, maka hal itu adalah benar jika aku katakan rabb, bagaimana aku akan mukallaf ?”

Lihatlah! Bagaimana dia menjadikan hamba adalah rabb (tuhan) dan Rabb adalah hamba. Rabb dan hamba dianggap sama (kedudukan) oleh Ibnu ‘Arabi, serta Ibnu Masyisy yang ucapannya disebutkan di dalam Dalailul Khairat, namun itu lebih pantas disebut Dalailul Syurur.

12. Dan Al-Jazuli menyebutkan di dalam halaman 83;

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada beliau yang menyingkap kegundahan, menerangi kegelapan, menganugerahkan nikmat, dan memberi rahmat”.

Saya katakan: ini merupakan pujian berlebihan yang tidak diridhai di dalam Islam, dan tidak diridhai oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam

13. Kemudian (Al-Jazuli) menyebutkan wirid Ali bin Sulthan Muhammad Al- Qariy yang Ia namakan dengan Hizib Al-A’zham. Tertulis di Hamisy dimulai dari halaman 15;

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Junjungan kami; Muhammad, yang cahayanya mendahului seluruh makhluk”.

Saya katakan: ini ucapan yang bathil, didustakan oleh Hadits yang berbunyi;

“Yang pertama kali Allah ta’ala ciptakan adalah cahaya nabimu, wahai Jabir!”

Menurut ahlul hadits, atsar ini dibuat secara dusta (atas Nabi), palsu, dan bathil.

14. Dalam salah satu cetakan kitab Dalailul Khairat, datang penyebutan akhir qashidahnya sebagaimana berikut;

“(Dan kami bertawassul) dengan ayah kami, kekasih guru kami, tempat kami berlindung, Qathbu Zaman, beliaulah yang bernama Muhammad”.

Dia mengatakan bahwa gurunya yang bernama Muhammad adalah tempat dia berlindung dan bersandar saat menghadapi musibah.

Ini merupakan kesyirikan. Karena seorang muslim tidaklah meminta perlindungan kecuali hanya kepada Allah ta’ala semata, tidak bersandar kecuali hanya kepada Allah ta’ala semata, karena Dialah Dzat Yang Maha hidup lagi Mahamampu. Sedang, gurunya telah meninggal; lemah, tidak dapat memberi manfaat tidak pula menolak mudarat.

Dia juga meyakini bahwa gurunya adalah Qathbu zaman. Ini adalah keyakinan sufiyah yang menyatakan bahwa di alam semesta ini terdapat para tokoh terkemuka yang turut mengatur urusan semesta. Mereka menjadikannya sebagai sekutu Allah dalam pengaturan semesta ini. Padahal, orang-orang musyrik terdahulu mereka meyakini bahwa yang mengatur semesta hanyalah Allah ta’ala semata.

Allah ta’ala berfirman;

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (Qs. Yunus: 31).

15. Memang di dalam kitab Dalailul Khairat terdapat doa-doa yang shahih, namun dengan terdapat juga padanya malapetaka besar ini sebagaimana telah lewat penyebutannya, yang itu bisa merusak akidah pembaca kitab ini bila ia (ikut) meyakini seperti itu, maka janganlah menganggap kitab ini bermanfaat karena adanya doa-doa yang shahih itu. 

Di dalam kitab ini terdapat kekeliruan yang sangat banyak.

Bagi siapa yang ingin lebih luas terkait pembahasan ini silakan merujuk kitab “Kutubun Laisat Minal Islam” yang ditulis oleh Mahmud Mahdy Al-Istanbuly.

Karena beliau telah membahas tentangnya, demikian juga membahas tentang Qashidah Burdah, tentang kitab Maulidul ‘Arus, Thabaqatul Auliya karya Asy-Sya’rani, Taiyah Ibnul Faridh, Al-Anwar Al-Qudsiyah, At-Tanwir Fi Isqatit Tadbir, Mi’raj Ibni Abbas, Al-Hikam karya Ibnu ‘Athaillah Al-Iskandariy, dan kitab-kitab lain yang beliau meminta supaya kitab-kitab tersebut dibakar karena membahayakan akidah muslimin.

16. Waspadalah wahai saudaraku semuslim dari kitab-kitab yang telah disebutkan di atas.

Silakan anda membaca kitab “Fadhlul Shalati ‘Alan Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wasallam”karya Asy- Syaikh Isma’il Al-Qadhi, yang ditahqiq oleh Asy-Syaikh Al-Muhaddits Al-Albani.

Sebagaimana pula di sana ada kitab yang bagus, namanya ‘Dalilul Khairat’ yang ditulis oleh Khairuddin Wanili. Beliau menghimpun di dalam kitabnya itu shalawat-shalawat dan doa-doa yang shahih, yang itu mencukupimu dari kitab ‘Dalailul Khairat’ yang bisa menjerumuskanmu ke dalam kesyirikan dan dosa.

Juga, waspadalah dari membaca shalawat-shalawat yang bid’ah.

Ya Allah, kami memohon, perlihatkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran, anugerahkan kepada kami untuk mengikutinya, dan buatlah diri kami mencintainya. 

Dan kami memohon, perlihatkanlah kepada kami kebathilan sebagai kebathilan, anugerahkan kepada kami untuk menjauhinya, dan buatlah diri kami membencinya. 

Dan shalawat serta salam sejahtera semoga terlimpah kepada Muhammad, dan kepada keluarganya.

0 Response to "APA YANG SALAH DARI KITAB DALAILUL KHAIRAT"

Post a Comment

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar dengan Bijak