Menutup Diri

Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya. 

Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.

Menutup Diri

Ada seseorang yang selalu mengeluh, mengeluhkan sepi konsumen atau proses bisnis yang ribet sampai ganti usaha pun, selalu masalahnya adalah "sepi konsumen" atau "prosesnya ribet".

Suatu hari, saat menjelang idul fitri, rekannya meminjami uang Rp 3 juta untuk bisnis. Bukan angka yang besar, tapi mengatasi masalah modal untuk usaha kue lebaran. Sebab dia selalu mengeluh, ada pesanan tapi tak ada modal.

Setelah lebaran lewat, tak ada kabar tentang usahanya, apakah rugi, untung, atau impas. Sampai beberapa bulan kemudian, dia cerita kepada rekannya bahwa modal yang dulu dipakai beli motor untuk anaknya.

Lalu sekarang dia membuka usaha baru bidang jasa, lagi-lagi mengeluh sepi konsumen. Cuma dapat 3 katanya, selebihnya sepi banget.

Dia berfikir, rekannya tak perlu uang itu jadi tak dikembalikan pun tak apa-apa. Tapi bagi rekannya, modal itu adalah laporan perjalanan bisnis, sehingga kurang berapa pun nantinya, mudah evaluasi selanjutnya dibuat strategi baru.

Tanpa uang itu kembali, tak ada evaluasi bisnis kecuali evaluasi pada diri pelaku bisnisnya. Ini masalah sikap dan rekannya enggan mengoreksi sikap orang lain khawatir menyinggung.

Di negeri lain, sebutlah negeri antah berantah, ada seseorang ingin memperbaiki sikap sebab sangat ingin sukses. Lalu dia memaksa ikut sebuah seminar pengembangan diri tanpa membayar full alias berhutang. Panitia mengizinkan akhirnya.

Setelah mengikuti seminar, ada kelas-kelas online yang disediakan berupa video dan zoom tapi orang ini tak pernah nampak di zoom. Lama tak ada kabar hingga suatu hari dia berkata kepada seorang panitia, "aku butuh uang, tolong pinjami nanti aku bayar sekalian bayar seminar tanggal sekian."

Panitia yang dihubungi merasa aneh, sebab bila dia praktek materi seminar, tentunya masalah finansial sudah selesai. Bukankah alasan ikut seminar dulu karena ingin lepas dari masalah finansial? Sementara banyak peserta lain mampu meningkatkan income setelah mengikuti seminarnya.

Panitia menolak membantu, tapi orang ini memaksa sampai berkata "hanya kamu yang bisa menolongku" sebuah kalimat "haram" di seminar sebab menutup pikiran dari sumber lain, terlebih Allah cemburu.

Fix, orang ini tak belajar meski sudah diberi kesempatan murah dan mudah. Bisa jadi, sejak awal pikirannya tertutup.

Lalu di negeri tetangga, hiduplah seorang pemuda pengangguran karena keluar kerja sementara cicilan motor dan handphone terus minta perhatian.

Dia mendatangi orang kaya di negerinya, berharap dapat pekerjaan. Orang kaya melihat bahwa ada masalah dengan caranya membuat keputusan, seperti memilih kredit HP bagus yang harganya jauh lebih tinggi dari gajinya saat masih kerja dulu.

Maka ia ingin menasehati dulu, tapi dibuat kelas mentoring selama 3x pertemuan selama seminggu, dengan alasan magang dulu. Si pemuda ini sepakat. Tapi di hari yang ditentukan, pemuda ini tak kunjung datang, sampai tulisan ini dibuat.

Kesimpulannya, sebenarnya Allah selalu menyiapkan "malaikat penolong" tapi orang yang ditolong tak benar-benar membuka diri.

Kesalahan jelas dari cara berfikir sehingga menghasilkan keputusan yang salah, seperti keputusan menggunakan uang pinjaman usaha untuk beli motor, keputusan mengabaikan kelas pengembangan diri, atau keputusan mengabaikan kesempatan dimentoring oleh pengusaha kaya.

Kesalahan cara berfikir disebabkan emosi negatif, merasa "orang lain tak paham dengan kondisi saya" sehingga merasa benar bersikap keras kepala dan tak mau belajar dari nasehat orang lain.

Atau meratapi nasib sendiri, merasa menjadi orang paling menderita sedunia tanpa ada seorang pun peduli, sehingga tak peka dengan kepedulian orang lain sebab pikiran sudah menutup.

Tapi tulisan ini tidaklah menceritakan kisah 3 orang tadi, melainkan menceritakan Anda, iya Anda yang membaca tulisan ini. 

Tak peduli seberapa deras rezeki turun dari langit atau terhampar di bumi, selama hati dan pikiran menutup diri, selama itu pula tak akan mendapatkan sedikit pun rezeki itu.

0 Response to "Menutup Diri"

Post a Comment

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar dengan Bijak