Kisah : Tawasul dengan Calon Rasul
Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya.
Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.
Tawasul dengan Calon Rasul
Suatu saat Makkah dilanda kekeringan yang hebat.
Tumbuh-tumbuhan meranggas kering. Hewan ternak kurus-kurus tak bersusu. Sebagian orang mulai dilanda kelaparan. Maka, para pemuka Quraisy berkumpul dan berunding. Seorang di antara mereka berkata, “Mintalah pertolongan kepada Latta dan Uzza.”
Seseorang menimpali, “Tidak, mintalah perlindungan kepada Manat, dewa yang ketiga!” Setelah lama berunding dan berdebat tanpa hasil, seorang laki-laki bernama Waraqah ibn Naufal, paman Khadijah binti Khuwailid, berkata, “Aku berasal dari kabilah Naufal.
Di antara kalian ada orang yang merupakan keturunan Ibrahim dan Ismail. Kusarankan, mintalah bantuan kepadanya.” Orang-orang berkata, “Apakah yang kau maksud adalah Abu Thalib?” “Ya, mintalah bantuan kepadanya.
Mereka menyetujui sarannya dan beranjak pergi menemui Abu Thalib yang baru saja keluar dari rumahnya mengenakan jubah kuning. Mereka berkata, “Hai Abu Thalib, lembah sudah mengering dan makhluk Allah dilanda dahaga. Bangunlah dan mohonkan hujan untuk kami!”
Abu Thalib berkata, “Tunggulah sampai matahari tergelincir dan angin mereda.” Saat matahari hampir tergelincir, Abu Thalib keluar bersama seorang anak muda dengan wajah cemerlang seperti matahari di waktu duha, tetapi teduh seperti dinaungi awan. Ialah Muhammad.
Ia sandarkan punggungnya pada dinding Ka‘bah. Sambil memegang anak muda itu, Abu Thalib mengangkat tangan, berdoa memohon turunnya hujan: “Turunkanlah hujan kepada kami, wahai Tuhan kami. Kami ber-tawasul kepada-Mu dengan anak yang penuh berkah ini.”
Waktu itu langit bening seperti kaca. Tak ada awan. Setelah Abu Thalib berdoa, awan berhimpun. Datang bergulung-gulung dari pelbagai penjuru. Tak lama, suara halilintar menggelegar bersahutan, dan hujan pun mengguyur Makkah dan sekitarnya dengan sangat deras. Abu Thalib memuji anak muda itu, menyenandungkan puisinya yang terkenal:
Awan diharapkan turunkan hujan Melalui wajahnya yang cemerlang Pelindung yatim, pelindung janda Kepadanya bernaung keluarga Hasyim yang malang Di sisinya mereka dapatkan kenikmatan dan kemuliaan.
Kira-kira 30 tahun setelah peristiwa itu, seorang Arab Badui tergopoh-gopoh menemui Rasulullah Saw. di Madinah. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, kami datang menemuimu karena unta-unta kami tak lagi bisa melangkah dan bayi-bayi kami enggan menyusu. Kemudian, ia lantunkan syair:
Kami lihat dada perawan tampakkan uratnya Para ibu baru tak lagi menghiraukan bayinya Dengan tangan menadah, pemuda datang merendah Tubuhnya lunglai dan lemah Mulutnya membisu dan pedar. Di rumah-rumah kami tak tersisa lagi makanan Selain hanzal dan bulir kasar bercampur bulu.
Bagi kami, selain dirimu, Tak ada lagi tempat berlari Ke mana lagi manusia pergi Kecuali kepada sang utusan.
Usai laki-laki itu menyampaikan keluhannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri, mengenakan serbannya, dan naik ke mimbar. Beliau tadahkan kedua tangannya ke langit dan berdoa:
“Ya Allah, turunkan kepada kami hujan deras melimpah, dengan segera tidak tertunda, berguna tidak berbahaya sehingga payudara dipenuhi susu, tanaman tumbuh subur, dan bumi hidup lagi setelah kematiannya.”
Anas radhiyallahu 'anhu yang meriwayatkan hadis ini berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah Saw. belum lagi turun, dan langit sudah mencurahkan hujannya.” Penduduk lembah berteriak, “Wahai Rasulullah, banjir, banjir!”
Maka, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, berkatilah kami. Jangan siksa kami.”
Tiba-tiba awan berpencar ke berbagai arah, melingkari Madinah seperti mahkota. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa hingga tampak gusinya, dan berkata,
“Ya Allah, aku teringat lagi kepada Abu Thalib. Sekiranya ia hidup, pasti bahagia hatinya. Siapakah yang mau membacakan puisinya bagiku?”
0 Response to "Kisah : Tawasul dengan Calon Rasul "
Post a Comment
Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar dengan Bijak