Melatih Imajinasi

Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya. 

Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.

Sejak Kapan Imajinasi itu Dilatih?

Belajar dari pengalaman Mardigu Wowiek yang menyimpan foto koran Gedung Putih dan mengatakan "aku akan kesana nanti" saat masih usia SD, ternyata saat usia itulah bahkan mungkin sejak kecil lagi, imajinasi itu perlu ditanamkan.

Di usia SD pula, saya sering membaca majalah Intisari terutama kisah fiktif kriminal dimana tokohnya seorang detektif.

Saya mengkhayal suatu hari punya kemampuan detektif yang mampu menghubungkan puzzle-puzzle informasi menjadi sebuah cerita yang oleh orang bersangkutan ditutupi.

Sekarang, melalui analisa tanda tangan, saya mengumpulkan informasi dari potongan simbol dalam tanda tangan disusun menjadi cerita traumatik yang oleh pemiliknya tak disadari atau dilupakan.

Sekali lagi, menanamkan imajinasi itu justru efektif saat masih kecil, terlepas anak itu dianggap cerdas atau tidak. Sebab hasil akhir akan selalu sesuai dengan imajinasinya.

Anak saya, Fawwaz usia kelas 4 SD saat itu, menggambar di kertas yang kemudian saya tempel di dinding, sebuah mobil dan 2 orang yang berhadap-hadapan.

Ada tulisan dan tanda panah menjelaskan kedua orang itu, abi dan penjual. Maksudnya, abi sedang membeli mobil.

Setiap hari saya melihat gambar itu karena ditempel di dinding sebelah pintu. Lalu pada suatu masa saya membeli mobil, saya minta difoto memperagakan serah terima kunci.

Saat di rumah dan melihat gambar di dinding, saya baru sadar bila posisi saya di foto itu persis seperti posisi saya di gambar.

Kembali lagi, menanam imajinasi itu penting sejak anak masih kecil. Maka menceritakan kisah kepahlawanan atau hal-hal baik lainnya sangat tepat disampaikan sejak kecil.

Saya jadi ingat kisah fiksi dari Barat, rata-rata diakhiri dengan kalimat "mereka hidup bahagia selamanya" yang sebenarnya adalah menanamkam imajinasi ke pembaca bahwa hidup itu membahagiakan selamanya.

Beda sekali dengan nasehat kebanyakan orang tua disini, hidup itu susah, cari uang itu susahnya bukan main, hidup itu harus berkorban, harus berjuang, dan segala "nasehat" lainnya. Kenyataannya nasehat itu adalah menanam imajinasi ke anak. 

Cerita selanjutnya, Mardigu harus pindah ke Jakarta mengikuti kepindahan tugas ayahnya, lalu melamar beasiswa ke USA setelah melihat spanduknya di depan gedung Depdikbud (sekarang Depdiknas).


Ternyata, meskipun nilai raport jelek, hasil tes jelek, tapi berhubung hanya dua orang pelamar, keduanya dinyatakan lulus untuk kuliah di USA!

Wallahu'alam

Ahmad Sofyan Hadi

0 Response to "Melatih Imajinasi"

Post a Comment

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar dengan Bijak